Resolusi Sampah!

Akhir cerita duaribu tigabelas, lahir kisah duaribu empatbelas.

Sejatinya aku ingin membubuhkan judul itu. Ya karena efisiensi tempat, demi ke-wangun-an blog ini. Berhubung dini hari hinggap, dan saya masih sadar, internet pun masih menyala, soundcloud Payung Teduh masih berkumandang, ada baiknya blog pun mengerti apa yang sedang tuannya rasa.

Jam melambat,
mencoba untuk membuat
pertemuan antara kenangan dan realita.

Mengingatkan akan kesiapan hati,
menyambut tahun yang di nanti.
Perjuangan ke depan akan
semakin berat, oh kawan..

"Resolusi di tahun yang baru: Membahagiakan orang tua."
via Twitter for gadgetpekoksingseringkowedewakan

Bagaimana mau membahagiakan,
kalau bisanya menghabiskan
uang orang tua yang sudah diikhlaskan?

Resolusi macam tahi!

Dan untuk tahun ini cukup resolusi bagi saya. Apa yang saya resolusikan tahun ini dari tahun kemarin pun tak kuingat. Apa pun itu, kuyakin saya tak pernah total. Tapi aku akan selalu mendoakan. Setidaknya mendoakan kesehatan orangtua ku. Ya, sampai mereka mengerti anaknya sukses. Atau yang paling kutakutkan, menyaksikan anaknya menjadi bajingan. Kalau bisa, aku kan menggadaikan nyawa ini sekalaunya untuk mereka. Hidup mereka terlalu berguna bagi sesama. Sedangkan anaknya? Masih egois, hedonis, tahu petis.

Tapi namanya perjuangan untuk indah di depan. Bahagialah, sudahilah sedihmu yang belum sudah~ Ini bukan resolusi. Ini komitmen, bukan resolusi. Menurut KBBI, definisi resolusi adalah, putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah,sidang); pernyataan tertulisbiasanya berisi tuntutan tt suatu halya saya backlight, agar anda yang membaca mencermati. Resolusi adalah kebulatan pendapat berupa permintaan maupun tuntutan. Tuntutan? Terkesan memaksa ya? Coba bandingkan dengan komitmen. Menurut KBBI, definisi komitmen adalah, perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; Lihat? Komitmen merupakan keterikatan untuk melakukan sesuatu.

Coba perhatikan kalimat-kalimat berikut.
Resolusi tahun 2014 untukku, bisa membahagiakan orangtua ku!
Sedangkan, lain hal dengan kalimat ini:
Aku berkomitmen agar bisa membahagiakan orangtua ku.
Sama arti, sama makna, ya? Tetapi artinya beda. Di satu, kamu menuntut dirimu sendiri untuk membahagiakan orangtua mu. Ya kan? Jika kamu menuntut, biasanya kamu akan terbebani. Beban itu akan menakuti. Lalu kita takut dan mulai melupakan, walaupun teringat sebersit, sama saja kita tetap terbebani.
Di lain kalimat, kamu mengikat dirimu untuk membahagiakan orangtuamu. SETIDAKNYA AKU MEMBAHAGIAKAN ORANGTUA KU DULU, bagaimana pun caranya.

Bahahaha, sudah semacam Mario Teguh ya? Taik haha. Jangan pernah termakan mentah-mentah oleh apa yang anda baca, dengar, maupun lihat. Yang pasti, cobalah buka mata, hati dan telinga.

Berbahagialah, nikmatilah, lalu sadarilah.

Meja tabu, 31 Des' 2013. 12.47 AM

Pengecut

Kesederhanaan Hedonis

Karena sejatinya
arti natal adalah kesederhanaan,
wahai kaum hedonis!

Karena sejatinya
natal adalah kebersamaan,
wahai individualis!

Bukannya,
kebersamaan dalam kesederhanaan
pun?

Ya apa mau dikata?
Sudah terlanjur tenggelam
dalam muara

Natal malam, dengan Pep dan Eleanor

Pengecut.

Buai Fantastika

Saya sudah jenuh hidup (lagi). Ketika hari-hari diawali dengan sistem/rutinitas yang diciptakan oleh menteri pendidikan yang tidak akan pernah jelas, lalu diakhiri dengan ujian akhir semester yang tidak akan habis. Pantaskah kami--kita hidup? Tersentak, aku langsung mengingat ketikan puisi lama tentang mati. Sudahlah..

Sebelum melakukan tes akhir semester, aku juga menyempatkan pergi sejenak ke Ganjuran. Ya, rumah Tuhan, katanya. Tapi bagaimanapun Rumah Tuhan kan masih sebagai sarana untuk bertemu dengan Tuhan kan? Aku bercerita kepada tiga lelaki yang kutemani saat itu.

Entah kenapa aku teringat dialog di suatu film.
"Hey bung! Seharusnya kau membantu kami! Kenapa kau malah sibuk dengan benda-sialan-agama mu?"
"Terkadang kita memerlukannya. Tapi setidaknya percayalah. Kepercayaan menyatukan kita, sedangkan agama memecah-belah kita.
Dan aku masih juga berusaha menerima Tuhan sebagai Tuhan yang satu. Ya Tuhan bagi kau, aku, dan dia. Aku ingin menerima Tuhan Yesus, Nabi Muhammad, Buddha Gautama, Dewa Syiwa, dan lainnya sebagai Allah yang satu. Satu dan kuharap menyatukan kita semua.
Umpat saya konyol, tapi mungkin ada arti kata Agama. A dan Gama. Sebut saja begitu. A artinya tidak, dan Gama bisa jadi: perjalanan (aku menemukan arti kata itu dari website nama bayi). Tapi mungkin bodoh juga kalau arti agama itu bukan perjalanan. Atau Agama artinya kadal? Entahlah..


Sabtu, empatbelas Desember duaribu tigabelas.

Brama mengajak (kesekian kalinya) menghadiri konser dari festivalist. Begitu anehnya diriku atau memang tempat ini terkesan bukan jagad ku? Aku berpakaian seadanya seperti diriku biasanya. Sandal, celana 3/4 kedodoran, kaos dan cardigan yang menimbulkan kesan gay--kata kiky. Rambut gondrong kehujanan, hidung merah terkena flu, wajah tua tak terurus. Sedangkan pengunjung lain hadir dengan rambut klimis, wajah bungah, jeans skinny, sepatu converse, baju--bukan kaos--band-sampai flanel pun ada. Astaga, aku salah kostum. Pikirku saat itu. Tapi terserahlah, mau dikata apa, tubuhnya sudah terlanjur di sini.

Pernah mengetahui aku jatuh cinta dengan pemain biola? Biola atau violin entahlah, aku tidak peduli, yang penting sama-sama alat gesek. Aku berusaha memperjuangkannya, tapi ya... Ya namanya.. Ya namanya bukan mau membahas ini, ya maka sudahilah. Kebetulan band pembuka saat itu mengkolaborasikan tiga alat gesek dengan satu set band: drum, gitar, bass, keyboard. Lalu sejenak aku terkepak. Aku memikirkan penggesek itu. Sudah berapa ekor kuda yang di eksploitasi untuk dijadikan penggesek itu? Tauklah..

Setelah menanti begitu lama, puncak acara pun datang. Semula pengunjung yang membuatku minder, ternyata tampak aslinya. Gondes. Mereka terikat dengan gengsi, style masa kini yang macam tahi. Kalau rambut tidak klimis, kalau jeans bukan skinny, kalau sepatubukanconversedanlainsebagainyayangmacamtahi, ah biarlah.. Mereka cuma makhluk-makhluk nista yang cuma tahu gaya, termuntahi oleh buaian fantastika. Terkekang dan belum memahami arti kebebasan sejatinya. Baik adanya datang dengan seadanya, bukan se-apa-nya. Bukan se-tahu-nya, melainkan semaunya. Katanya generasi Go Ahead? Ya, generasi yang cuma go ahead kalau moshing, go ahead di jalan, dan go ahead kalau kroyokan.

Ya, saya malu. Dan saya cukup tahu. Mungkin itu semua juga menjadi salah satu faktor ingin sirna dari dunia sedari dulu.

Kepada Rembulan dan Semesta

Malam demi malam berlalu. Bisakah kau membayangkan, ketika orang yang kita cintai--terlebih sama-sama mencinta--pergi meninggalkan kita demi cita-cita yang sudah lama ia damba. Sebut saja aku manusia galau. Itu labelling yang kuterima dari mereka.
"Etnis?"
"Bukan."
"Restu?"
"Bukan."
"Masalah sepele?"
"Tidak."
"Berarti masalah besar?"
"Bisa jadi."
"Lalu apa dong?"
"Cita-cita."
Setidaknya aku masih memiliki beberapa teman cerewet yang selalu menghebohkan malam senyapku ini. Aku tidak pernah merokok, apalagi minum alkohol. Pesta? Dari sudut pandang mana dulu kau mengatakan pesta? Teman-temanku selalu mengajakku 'berpesta' dan yang paling penting, aku tidak senakal yang kalian pikir. Aku lugu.

Malam ini tidak beda dengan beberapa malam sabtu lainnya. Ketika aku mendongak ke atas dan Rembulan menyapaku, lalu menertawakanku dengan sinis. Tak masalah. Aku tetap suka dengan keindahan Rembulan. Dialah satu-satunya saksi yang melihat ketika hubungan kami diselesaikan dengan penuh kebingungan melanda hatiku. Dilemma, istilahnya. Banyak orang mengatakan Rembulan sekedar saksi bisu. Belum tentu. Bisa saja Rembulan mengatakannya pada Matahari? Atau bahkan Bintang? Atau malah kepada Galaksi? Biarkan mereka semua tahu ceritaku ini. Ketika cerita ini selalu menjadi bagian dan barang bukti dimana aku masih mencintai dirinya.


Minggu lalu aku sekilas melihatnya. Ya, aku tidak terlalu tertarik kala itu. Cuma sekadar cinta-cinta kecoa saja, yang cuma lewat sliwer lalu sudah.. Bisa jadi dia memang cocok untukku? Ah sudahlah, biarlah waktu yang mengatakannya.

Kami bertemu di pekerjaan kami. Kami berbeda divisi dan tentu saja kami dipertemukan saat rapat seluruh divisi. Memang divisi ku paling kumuh, dibanding divisinya yang dipenuhi makhluk-makhluk Firdaus. Divisiku memang berisikan lelaki-lelaki yang cuma bekerja dikejar waktu. Kalau ada perempuan, toh mereka bermuka kumal dan layak disebut pembantu. Ya muka-muka di divisi kami menjijikkan. Tidak perlu setelan jas yang mewah, kami cukup berpakaian seadanya. Dan yang paling penting, niat.
Banyak orang-orang meremehkanku dalam mendapatkannya.Terutama teman dekatku
"Sialan bener kamu! Kamu sudah punya kekasih! Toh masih saja mau yang lain!"
"Kalau Semesta mengijinkan? Kenapa tidak?"
"At least, kamu harus jaga hati orang! Bagaimana kalau mereka terluka?"
"Tujuan kan perlu pengorbanan di awal?"
"Anjing! Masa bodo terserah elu!"
"Sudah.. Biar waktu dan semesta yang membuktikannya."
Aku selalu memuja untuk orang yang menemukan kalimat Biarlah anjing mengonggong. Biarkan orang lain terus menceramahi kita, lalu kita tunjukkan apa yang kita perjuangkan.

Di satu waktu, kami berada di kesunyian. Mata kami bertemu saat itu. Senyum manisnya meluluhkan hati ku yang beku.

Aku memiliki banyak pengalaman perihal relasi. Terlebih tentang orang-orang yang kuincar menjadi kekasih. Begini kisahnya setelah aku meruntut:
Hubungan awalku berlangsung sekedar pelampiasan nafsu antar individu. Hubungan yang tidak baik pun akhirnya purna. Setelah itu, aku benar-benar dibuat jatuh cinta. Kami saling mencinta. Kami putus sementara waktu, karena memang tidak bisa bertemu. Karena kami saling cinta, semesta mempekenankan kami kembali bersatu. Lalu lanjut-berlanjut menjadi sebuah siklus yang sama intinya. Hubungan nafsu >> hubungan cinta >> nafsu >> cinta >> dan begitu seterusnya.
Dan sekarang, dia benar-benar membuatku tertarik. Sa. Ngat. Ter. Ta. Rik. Bisa di bilang panah asmara telah tertancap. Aku akan memperjuangkannya. Biar nanti Semesta yang menjawab.


Humoris lah tipe orang yang sedang banyak dicari gadis-gadis masa kini. Terutama diriku. Dibandingkan dengan pria pendiam berbadan kekar, yang cuma bermodal kaos ketat untuk menunjukkan otot-otot steroidnya itu. Paling tidak, lelaki tipe humoris bisa untuk mengusir kepenatan, tekanan, dan segala macam jahanam yang merusak pribadi kita perlahan-lahan.

Dia humoris. Tingkahnya di kantor kami selalu saja membuat decak tawa bagi kami semua. Di saat yang lain melipat-lipat mukanya, dia sendiri mencoba melengkungkan bibirnya di tengah kondisi yang tidak mungkin untuk tersenyum. Karena sebenarnya senyuman orang bisa saja membuat orang lain tersenyum juga..
"Dia tersenyum.."
"Kamu suka?"
"____ ."
"Hey! Kamu suka dia?
"Ah? Ah, enggak."
"Hasyah itu lho muka mu merah!"
"Hah? Apaan sih.."
Bisa jadi aku memang tertarik dengannya? Aku suka cara dia menjaga mood orang. Raut mukanya lucu. Lucu tapi menyenangkan! Aku suka cara dia tersenyum di setiap saat. Dia cerdas, pintar mengatur suasana. Bisa saja.. Mungkin saja.. Tapi.. Eh? Kenapa jantungku berdegup?


Bilang saja aku ini lelaki nista. Kau bisa tahu dari analogi ini:
Ada seorang pemancing yang sudah menangkap ikan Kakap di genggamannya. Saat itu juga, kail pancingnya yang lain bergerak. Tarikan itu ternyata dari Gurameh, ikan yang membuat nafsu makannya melunjak saat itu. Karena wadah hanya satu, terpaksa Kakap pun dilepas demi mendapatkan Gurameh. Pemancing sudah yakin mendapatkan, tetapi Gurameh cuma bercanda. Gurameh pun pergi meninggalkan kail. Alhasil semua ikan pun lepas, dan dia kelaparan.
Hina nista kan diri ini?

Ya, kami berdua sudah mengumpulkan niat untuk memulai sebuah percakapan saat bertemu. Setidaknya aku sudah begitu banyak tahu tentangnya, terlebih tentang 'Rembulan'-nya. Bodohnya, hubungan ini terlalu didukung banyak orang. Teman-teman di divisinya terus memberinya dukungan. Begitu juga teman-temanku yang sudah setuju. Hubungan yang tidak alami, tidak akan terjadi.
Aku terlalu yakin mendapatkannya, dan di tengah perjuangan.. Dia termenung di suatu malam dan menatap langit. Rembulan tertawa sinis padanya.

Ternyata, itu jawaban Semesta.

Dusta Nista

Isak tangis cakrawala
Menggetarkan kesedihan dunia


Duh Gusti, apa salah hamba?
Ketika ku berdiam menghisap jemari
meratapi ketololan diri

"Apa arti cinta?" tanya adik.
Entahlah, dik.. Kamu tidak nyata.
Emas matahari menutup pagelaran siang
kilau perak bulan yang menyeruak,
mengukuhkan kekuatan malam.

"Dia gadis yang khas, bukan?" tanya sahabat.
Entahlah, sobat.. Kamu itu maya.
Dingin angin malam tertusuk,
tusukan kegalauan diri seorang lelaki.

Aku rela mengakhiri,
dengan harapan memulai.

Dusta nista, lelaki pada wanita.
Sahih..
Sahih benar!

Mungkin hanya ingin..
Tapi masih 'mungkin.'

Penuntut Dituntut

Terlebih ketidaksukaan saya terhadap orang yang suka menuntut adalah dia orang yang selalu menang. Intinya, saya adalah orang yang jarang menang, bahkan tidak pernah menang. Beliau memang seorang pemimpin disini, maka layak-layak saja baginya untuk selalu menang. Memang, bawahan harus manggut-manggut bila pemimpinnya mengutarakan proyeknya, apalagi keluh-kesah tentang pengerjaan proyeknya.

Saat itu, mendadak secepat kilat ada seorang teman yang ingin mengajak berdebat. Memang dia pandai debat, tapi sangat bodoh apabila dia mengajak "orang yang selalu menang" untuk berperang dengan cara perdebatan. Pertamanya, Mercu cuma sekedar bertanya. Tapi semua orang sudah tahu bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh Mercu tak lain tak bukan adalah awalan untuk memulai silat lidah, termasuk "orang yang menang" juga sudah mengetahuinya. Menurutku Mercu terlalu berani untuk hal ini. Jabatan Pak Rica hanya sekedar wakil di organisasi ini, dan jabatan 'orang yang selalu menang'-nya itu sudah cukup meyakinkan kami bahwa ketua organisasi ini lebih kuat, lebih jelas menangnya apabila diajak berdebat. Bagi kami para bawahan cukup manggut-manggut dan melaksanakan apa yang diperintahkan.

Banyak orang bilang Pak Rica adalah obat dari penyakit organisasi ini. Lain halnya dengan Jelangkung--begitu kami menyebut nama bos kami--yang menjadi penyakit bagi kami. Latar belakangnya yang meyakinkan kami kenapa dia layak dibilang penyakit di organisasi ini. Bila dilihat dari sisi positif, terkadang kemarahan-kemarahan Jelangkung selalu benar adanya. Tapi bagi psikis dan mental bawahannya, itu selalu merusak dengan pasti. Hanya beberapa orang yang menyadari keluputannya, dan mau berkembang ke depan.

Organisasi kami merupakan kelompok yang selalu disepelekan. Kami bekerja sebagai buruh-buruh waktu. Dimana kami menghabiskan waktu dengan berkumpul membahas proyek-proyek yang sudah ditentukan kapan akan ditagih pertanggungjawabannya oleh orang-orang luar.

"Kita melingkar, itu berarti kita tidak ada batasnya. Tidak terpisah oleh sudut-sudut, dan pikiran-pikiran yang berbeda. Kita disini semua harus rendah hati dan menghilangkan egoisme masing-masing individu." ucap Pak Rica di suatu rapat.
"Ya.. Jadi.. SEGERA BUANG EGOISME KALIAN, ATAU KALIAN SAYA PECAT!" sambung Jelangkung.
Pak Rica langsung mengelus punggung bos kami, "Uwis to bos, mbok uwis.." Mata Jelangkung terbelalak, nafasnya tidak teratur, kupingnya memerah, terlebih para anggota disini ketakutan, ketakutan melihat Jelangkung yang kesurupan.

=

Singkat hari, saya pulang meninggalkan hari itu. Kepala saya sakit, terngiang-ngiang tuntutan dari Pak Rica atas segalanya. Bagaimana bisa saya lebih baik? Apalagi Bos sudah jelas marah, bahkan kesurupan seperti itu. Capek sudah. Lelah sudah batin ini selalu dihiasi oleh kutukan-kutukan Jelangkung kesurupan itu. Ya kau tahu, selalu ada maksud bagi semua yang masuk ke boneka iblis itu. Sudahlah, saya sudah jelas lemah-letih-lesu ; 'mahtisu' kalau adik saya bilang.

Sepulangnya di depan rumah pun tidak ada yang menyambut seperti biasanya. Jelas saja, di usia saya saat ini, saya belum memutuskan untuk menikah. Petang, Dara tiba di rumah. "Sekedar mengunjungi." katanya. Berdua kami membelah malam, menyemarakkan kesunyian. Pelukan makin erat. Tangan ini makin liar, meraba-meremas apa yang dilewatinya. Bibir ini melumat bibirnya seakan-akan tubuh ini menjadi media bagi jelangkung lain.

"Mas! Kenapa sih! Kalau nafsu ya nafsu tapi ngga begini jugalah!" bentaknya pada boneka.
"Saya capek, Dara. Saya perlu ini."
"Iya! Tapi bukan berarti liar seperti kera beginilah!"
"Saya bukan kera liar! Kenapa kamu merendahkan saya?"
"Ya habis kamu kaya kera liar beneran. Remas-remas tetekku, raba-raba bokongku! Ini bibir sampai lumer kalau kamu lumat terus tau ngga!"
"Aku lakukan itu karena aku butuh! Aku masih waras! Aku lelaki yang selalu butuh ini! Aku bernafsu? Ya! Kamu tidak bisa menuntut orang seperti yang kamu mau! Kalau kamu sudah memutuskan denganku, harusnya kamu terima! Itu pilihanmu, konyol!"

Malam itu cukup sampai jam delapan. Dara memutuskan untuk langsung pulang. Tanpa berpamitan. Sebelumnya, aku tidak pernah tidak mengatakan 'saya'. Ya aku orang yang formal. Tapi tidak sampai iblis ini hidup dan menjadi benalu di tubuh ini. Bukan, boneka ini.

Pagi harinya, ada kiriman sarapan. Mungkin dari Dara. Catering itu tertata rapi dalam rantang dan berisi lengkap. Ada surat pula yang tercepit di antara pegangan rantang itu. Mungkin Dara masih marah karena aku marah. Hahaha, lucu juga menurutku. Ketika orang marah karena orang lain marah. Ya, Dara memang lucu. Dunia ini memang lucu.

Setelah aku memakan sarapan yang dikirim Dara, kuputuskan untuk membaca surat itu.

Mas, Dara tahu kemarin malam kamu capek. Tapi capekmu berbeda. Kamu seperti kerasukan. Kamu lain, mas. Dara tahu kegiatan di organisasi mu menyusahkan. Memang kita terbiasa dituntut oleh petinggi kita, terbiasa disuruh-diperintah oleh atasan kita. Tapi apa kita pernah mengelak? Bertanya, kenapa kita disuruh? Atas dasar apa? Setidaknya itu yang kulakukan. Tidak seperti pecundang-pecundang lainnya. Aku pengecut, tapi bukan pecundang. Aku lebih memilih menyimpan dalam hati, dan menyampaikannya dengan paragraf-paragraf yang aku tulis. Bukan seperti pecundang yang katanya mengundurkan diri secara hormat, tapi tetap ngrasani.
Dara bukan ingin memutuskan hubungan, aku cuma tidak mau bertemu Mas KY sampai waras dulu. Kamu berbeda, Mas. Kembalilah. Sadarlah.

Peluk sayang,


Dara

Ya sudah, aku tidak terlalu peduli. Semua orang berubah, tapi baik-tidaknya tergantung sudut pandang orang masing-masing. Aku berangkat, mengawali pagi yang gelap. Mendung gemuruh mengancam hujan. Sesampainya di kantor, aku mendapat isu beberapa teman sudah mengundurkan diri. Termasuk Mercu, bocah pemberani tak berotak itu.
Hari demi hari, pagi selalu gelap dan tak pernah terlihat sang surya. Aku tidak peduli dengan itu semua. Kejadian-kejadian yang sama pun selalu terjadi. Satu per satu anggota kami berkurang. Sampai pada akhirnya lingkaran yang kami buat sudah bukan lingkaran..

Aku yakin mereka semua pecundang.

Badut yang Marah

Ketika badut itu sedang bekerja. Semuanya tahu badut tidak akan menunjukkan emosi marahnya. Toh kalau badut terpaksa/tak sengaja meluapkan emosi marahnya, semuanya akan mengira itu cuma lelucon.

Ya, saat itu latihan teater. Disana sedang adegan di dampar keprabon. Kami berdua masuk kesana, datang untuk menagih janji hadiah yang terlisan di sayembara yang Ratu Ayu adakan. Kami berhak mendapat semuanya, termasuk Gusti Lurah saya untuk menikah dengan Ratu Ayu. Mulailah mereka, mulailah para Adipati, Mahapatih, Layang Seto dan Layang Kumitir meluapkan kepenatan mereka. Ceritanya disini lebih kurang 15 lawan 2 orang. Gusti Lurah lebih memilih diam, beliau tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saya mulai marah. Disini mereka tidak menghargai kami. Saya mulai direndahkan. Saya mulai panas. Pikiran pun mulai bruwet. "K*NTOOOOOOOLLL!!" Teriakan tersebut tidak menghentikan mereka. Mereka menganggap itu sebuah dagelan yang biasa saya lancarkan. Telinga ini sudah panas. Kalian mungkin bisa lihat ada asap di kepala itu. Walk out.

Saya sudah tidak kuat. Saya takut, energi negatif saya terbawa ke adegan lain. Sutradara menyukai situasi seperti itu. Ada apa ini? Mereka tidak tahu perasaan saya! Saya cuma tidak ingin menularkan energi negatif ke yang lain. Banyak gadis disana. Saya mulai masuk scene.. Art director juga menyukai kondisiku saat itu. Saya muak, saya merasa diperalat. Kepala ini berasap. Pikiran ini musnah. Robotkah saya? Petinggi pentas itu memasukkan Adipati-adipati dan Mahapatih. Sosok yang tak saya suka. Saya mati. Saya...

Adegan lain, saya sudah tahu cecunguk-cecunguk itu akan masuk lagi. Gergaji lah yang kuambil. Pendek sekali pikiran saya? Saya hampir saja mau membunuh teman-teman. Saya rela-rela saja menyiksa saat itu. Itu semua karena kemarahan yang tak beralasan, pikir saya saat itu. Mereka menuntut, mereka senang dengan kondisi tertekanku, mereka tertawa di penderitaanku. Padahal pikiran ini kesana-kemari. Saya berbicara tidak menggunakan otak, saya berbicara menggunakan mata. Saya...

Mahapatih berkata, "Mana Dayun yang dulu? Mana Dayun yang ceria?" Otak saya sudah rusak. Hati saya mulai tersentuh. Perasaan ini berkata, "mereka takut dengan dirimu yang ini, berubahlah segera.. Segera.." Saya paksa.. Saya terpaksa. Antara otak, hati dan perasaan yang memaksa pikiran ini untuk tetap hidup. Anarki atau mencintai.

Saya menangis saat itu.

Kujelaskan disini, karena sejatinya aku tak bisa berucap dengan jelas. Aku hanyalah seorang pengecut yang lebih mudah menjelaskan dengan paragraf-paragraf ini.

Jangan Paku Pohon

Baiknya menjadi manusia
yang menghargai kehidupan adanya
Budi dan akal,
sebagai titipan dari-Nya

Kuasa untuk merawat,
bukan kuasa merusak
Kuasa dititipkan-Nya,
Beliau percaya kita,
Beliau mencetak secitra

Tolong hargai mereka.
Oksigen terpancar,
sejuk memijar,
rindang yang tak pernah hambar.

Lilitan kawat,
aspal yang tak merawat,
asap kendaraan bangsat.
Mereka tak mengeluh,
mereka ikhlas.

Jangan paku pohon.
Getah itu analogi getih.
Sakit mereka rasakan.
Apa tak cukup sakitnya paku
pernah dirasakan manusia?
Paku. Salib.

Jika berhala itu ada,
Tuhan kita ialah mereka.
Pohon.

Target: Bunuh Diri

Banyak hal yang semua orang targetkan. Mulai dari jodoh, hasil yang memuaskan, sampai pada kemenangan akan jabatan yang masing-masing harapkan. Semua pada kepuasan tersendiri tentunya, dan jarang ada orang yang menargetkan tentang kenegatifan, kecuali manusia-manusia jihad, Taliban dan sebagainya.

Yang kumaksud disini dengan target bunuh diriku, bukan berarti aku menginginkan kematian lebih cepat dari waktunya, semuanya sudah ditetapkan Maha Oke dan biarlah Beliau yang mengurus itu. Kegiatan teater yang akhir-akhir ini semakin ketat, dan lama-kelamaan aku mencintai sesuatu hal bernama Waktu, aku memprioritaskannya akhir-akhir ini..
Ya, saya cinta teater, bisa dibilang begitu. Karena saya sangat-sangat jenuh dengan semua kebohongan dan kehidupan penuh dosa, apalagi kehidupan sekolah yang lama-lama tidak logis untuk dijalani. Bayangkan satu minggu, kita diberi tugas, praktikum, presentasi, ulangan, dan segala macam kuis dalam satu minggu. Buat apa kita dituntut belajar semua mata pelajaran, kalau sebenarnya pengampu tidak paham semua pelajaran yang murid terima? Mungkin profesi guru merupakan ajang balas dendam para mantan murid, mungkin ya? Saya lebih terima nantinya saya di api pencucian (kalau misalkan itu ada) daripada berkhayal langsung masuk surga dengan adem ayem. Munafik sekali ya orang-orang macam itu?

Untuk cinta pada teater dan korelasi tentang target bunuh diriku, intinya aku akan melancarkan semua dialog sarkasme untuk para pejabat-pejabat biadab. Kegiatan penyadaran, istilahnya.. Tapi apabila pejabat yang berotak udang itu malah tersindir, ini yang kuharapkan. Reaksi pejabat itu yang kuharapkan, memerintah bodyguard/polisi dan segala macam profesi dengan kedok penegak keadilan lainnya, untuk menangkapku, menuntutku, dan memenjarakanku, harapannya..
Ya namanya harapan juga masih semacam Visi kan yak? Analoginya kita mendapat juara harapan satu, ya artinya kita sebenarnya bisa juara satu. Salahnya, di Indonesia (di dunia mungkin juga ya?), juara harapan satu malah sebagai juara empat. Tolol kan?

Ya, jadi aku hanya ingin bercerita bahwa aku sudah menargetkan diriku, seusai pentas teater November 2013 ini, aku bisa dituntut oleh pejabat, dipenjarakan kalau perlu.

Wasalam!

Detak Jantung dan Hati yang Meracau

Kutemukan satu kisah kesukaanku.. Edgar Allan Poe penulisnya. Karena beliau juga saya tertarik menulis (bakal) novel dengan genre horror klasik seperti ini. Semoga lekas..


Memang benar! Aku gelisah, sangat-sangat gelisah pada waktu itu -- sekarang pun masih. Namun, mengapa kalian menyebutku gila? Rasa sakit menajamkan inderaku, bukan melemahkannya. Apalagi, membuatnya tumpul. Dibanding indera lainnya, indera pendengaranku paling tajam. Aku mendengar semua hal di langit dan di bumi. Aku mendengar suara di neraka. Bagaimana bisa aku disebut gila? Dengarlah! Kalian akan tahu betapa warasnya aku. Betapa tenangnya aku. Akan kuceritakan kepada kalian seluruh detail kejadiannya.


***

Sulit menceritakan bagaimana mula-mula pikiran itu menyusup dalam benakku. Namun, begitu masuk, pikiran memburuku siang malam. Tak ada niat dan aku tak ada dendam padanya. Aku mencintai orang tua itu. Ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Juga tak pernah melukai hatiku. Emasnya pun tak kuinginkan. Kupikir yang menjadi persoalan adalah matanya. Hmm, ya, matanya! Salah satu bola matanya menyerupai mata burung pemangsa – mata yang biru dan berselaput. Setiap kali mata itu menatapku, darahku terasa beku. Dan sedikit demi sedikit -- secara berangsur-angsur -- aku membulatkan hati untuk membunuhnya. Sehingga, terbebas selamanya dari sergapan mata burung pemangsa itu.

Di sinilah pangkal soalnya. Kau akan menganggapku gila. Semua orang gila pasti tidak tahu apa-apa. Namun kau akan melihat bagaimana aku melakukannya. Kau akan melihat betapa cerdiknya aku menyelesaikan pekerjaanku -- begitu rapi, terencana. Kemudian, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku menjadi lebih manis kepada oang tua itu pada seminggu terakhir sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, menjelang tengah malam, aku memutar gagang pintu kamarnya dan membukanya -- hmm, begitu hati-hati. Dan kemudian ketika pintu kamar itu terkuak dan cukup bagiku untuk memasukkan kepala, kumasukkan lentera berkatup yang kurapatkan semua lempengan katupnya. Sehingga, tidak ada sinar yang menerobos keluar dari lentera itu. Lalu, kusorongkan kepalaku ke dalam. Oh, kau pasti terkejut melihat betapa cerdiknya aku menyusupkan kepala. Semua kulakukan pelan-pelan, sangat-sangat pelan. Sehingga, tidak mengganggu tidur orang tua itu. Kuperlukan satu jam untuk menempatkan posisi kepala sebaik-baiknya di celah pintu. Sehingga, aku bisa leluasa melihat orang tua itu berbaring di ranjangnya. Nah, bisakah orang gila melakukan pekerjaan secerdik ini? Dan ketika kepalaku sudah leluasa, aku membuka katup penutup lentera dengan hati-hati -- begitu hati-hati -- jangan sampai engsel katupnya berderit. Aku membuka seperlunya saja, cukup agar seberkas tipis cahaya bisa menerangi mata burung pemangsa itu. Dan pekerjaan seperti ini kulakukan selama tujuh malam berturut-turut, tiap datang tengah malam. Namun, selalu kujumpai mata itu tertutup. Dalam keadaan seperti itu tentu mustahil melanjutkan rencanaku. Karena, bukan orang tua itu yang membangkitkan marahku. Tapi, mata itu! Pagi harinya, di saat fajar, sengaja kudatangi kamarnya. Kuajak ia bercakap-cakap, kusapa namanya penuh semangat. Kutanya pula apa tidurnya nyenyak semalam. Dengan demikian, kau tahu, diperlukan kecerdasan tertentu pada si tua itu untuk menduga bahwa setiap malam, tepat pukul dua belas, aku selalu mengamatinya ketika ia tidur.

Pada malam ke delapan aku membuka pintu lebih hati-hati ketimbang malam-malam sebelumnya. Jarum menit jam dinding, bahkan lebih cepat ketimbang gerakan tanganku. Baru pada malam itu aku merasakan begitu besarnya kekuatanku -- begitu cerdiknya akalku. Hampir aku tidak bisa menahan luapan perasaan menangku. Membayangkan diriku sendiri sedang menguakkan pintu, sedikit demi sedikit, dan orang tua itu bahkan tidak pernah berkhayal tentang apa yang kulakukan dan apa yang kupikirkan. Aku tergeletak dengan lintasan pikiran ini. Mungkin, ia mendengar suaraku. Karena, tiba-tiba, ia menggerakkan tubuhnya seperti orang terkejut. Sekarang kau pasti berpikir bahwa aku akan mundur. Tidak! Kamarnya gelap pekat, jendelanya tertutup rapat. Karena itu, aku tahu bahwa ia tidak melihat pintu kamarnya terkuak, dan aku terus saja mendorong daun pintu itu sedikit demi sedikit.
Aku menyusupkan kepalaku ke celah pintu dan sedang membuka katup lentera, ketika jempolku tiba-tiba selip dan mengetuk lempengan penutup, dan si tua itu bangkit dari ranjangnya.

"Siapa itu?" teriaknya.

Aku mematung di tempatku dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam satu jam aku sama sekali tak bergerak. Selama itu, pula aku tak mendengar ia merebahkan tubuhnya lagi. Ia tetap duduk di ranjangnya dan mendengarkan. Seperti aku, malam demi malam. Mendengar detak jam kematian di dinding.

Tiba-tiba kudengar erangan kecil, dan aku tahu itulah erangan yang muncul. Karena, teror kematian. Bukan erangan, karena sakit atau dukacita. Sama sekali bukan. Itu suara lemah orang tercekik. Suara yang muncul dari dasar jiwa yang diteror kengerian. Aku kenal sekali dengan suara itu. Beberapa malam, tepat tengah malam, di saat dunia terlelap, suara itu bangkit dari dadaku, menusuk-nusuk. Gaungnya mengerikan. Sebuah teror yang menggelisahkan. Kubilang aku kenal betul suara itu. Aku tahu apa yang dirasakan orang tua itu, dan turut berduka atas kemalangannya, meskipun dalam hati aku ketawa. Aku tahu bahwa matanya tak pernah lagi terpejam, sejak ia dikejutkan oleh suara yang membangunkannya. Rasa takutnya tumbuh semakin besar. Ia coba menenangkan diri, tapi tidak bisa. Ia yakinkan dirinya sendiri, "Tidak ada apapun, hanya angin di cerobong asap – hanya tikus yang merayap," atau "hanya jangkrik yang mengerik." Ya, ia mencoba menenangkan diri dengan dugaan-dugaan seperti itu, tapi sia-sia. Sia-sia; sebab maut yang menguntitnya diam-diam kini telah mengepung korbannya dengan bayang-bayang hitam. Dan efek muram bayang-bayang yang tak tampak itulah yang menyebabkan ia merasakan -- bukan mendengar atau melihat. Namun merasakan -- kehadiran kepalaku di kamarnya.

Setelah cukup lama menunggu, dengan sangat sabar, tanpa mendengar ia membaringkan kembali tubuhnya, maka kubuka sedikit -- sedikit sekali -- katup lentera untuk membuka celah kecil. Kau takkan bisa membayangkan betapa hati-hatinya aku membuka katup itu. Sehingga, akhirnya seutas cahaya, setipis sulur benang laba-laba, memancar dari celah lentera dan jatuh tepat di mata burung pemangsa itu.

Mata itu terbuka, begitu lebar. Amarahku bangkit ketika melihat mata itu terbuka. Jelas sekali kulihat -- mata biru berkabut, dengan selaput yang mengerikan, yang menusukkan hawa dingin di sumsum tulangku. Namun, sama sekali tak kulihat wajah orang tua itu: sebab seolah dibimbing oleh naluriku, cahaya lentera kuarahkan tepat pada bulatan mata keparat itu.

Jadi, bukanlah yang kau sebut gila itu sesungguhnya adalah inderaku yang begitu tajam? Sekarang aku mendengar suara lemah, samar-samar, berdetak dalam tempo cepat seperti detak jam yang terbungkus kain. Aku kenal betul suara itu. Ialah bunyi detak jantung orang tua itu. Kemarahanku memuncak, sebagaimana keberanian seorang serdadu naik, karena pukulan genderang.

Kendati demikian aku masih menahan diri. Kutahan napasku. Kujaga lentera di tanganku. Kujaga agar sinarnya tetap jatuh ke matanya. Sementara detak jantung terkutuk itu temponya semakin meningkat. Makin lama makin cepat, dan makin keras. Ketakutan si tua itu, pastilah luar biasa! Suara itu makin keras, kubilang, bertambah keras setiap saat. Kau catatkah omonganku baik-baik? Telah kukatakan kepadamu bahwa aku gelisah: begitulah yang kurasakan. Dan sekarang pada jam kematian malam itu, di tengah kebisuan yang mencekam di rumah tua itu, dentam aneh itu menyiksaku layaknya sebuah teror yang tak tertanggungkan. Aku masih menahan diri beberapa menit dan tetap tak beraksi. Namun, dentam itu makin memekakkan. Kupikir jantungnya pasti segera meledak. Dan sekarang aku merasakan kecemasan baru -- para tetangga pasti akan mendengar bunyi itu! Tiba sudah waktu bagi si tua! Dengan teriakan keras, aku membuka semua katup lentera dan merangsek masuk ke dalam kamar. Sekali ia memekik, hanya sekali. Dalam sekejap aku menyeretnya ke lantai dan membekapnya dengan kasur tebalnya. Setelah itu, senyumku mengembang, semua pekerjaan beres. Bermenit-menit jantung itu masih berdetak samar-samar. Namun, tak lagi membuatku jengkel. Suaranya takkan mampu menembus dinding. Akhirnya bunyi itu berhenti. Si tua mati. Aku mengangkat kasur dan memeriksa mayatnya. Ya, ia sudah mati. Matanya takkan menyusahkan aku lagi.

Kalau masih kau anggap gila aku, anggapan itu tak akan berlaku lagi bila kulukiskan apa yang kulakukan untuk menyembunyikan mayatnya. Malam melarut, dan aku mengebut pekerjaanku, tanpa suara. Pertama-tama kumutilasi mayat itu. Kupenggal kepalanya, kedua lengannya, dan kedua kakinya.

Kemudian, kubongkar tiga bilah papan lantai kamar itu dan kumasukkan potongan-potongan tubuhnya ke dalam rongga di bawah lantai kamar. Setelah itu kukembalikan lagi papan lantai seperti semula, begitu sepele, begitu rapi. Sehingga, tak satupun mata -- termasuk mata si tua itu -- yang menemukan adanya kejanggalan. Tak ada yang perlu dicuci. Karena, tak ada ceceran noda apa pun. Tak ada bercak darah sekecil apa pun. Aku sangat waspada terhadap semua itu. Bak mandi sudah menampung semuanya. Ha! Ha!

Jam empat pagi semua pekerjaanku selesai sudah. Hari masih gelap seperti tengah malam. Bersamaan dengan dentang lonceng jam, terdengar ketukan di pintu depan. Aku turun dengan perasaan ringan. Apalagi, yang perlu ditakutkan kini? Kubuka pintu, tiga orang lelaki masuk. Mereka memperkenalkan diri dengan sangat sopan sebagai petugas-petugas kepolisian. Seorang tetangga mendengar pekik si tua itu semalam. Menduga ada tindak kejahatan, ia melapor kantor polisi. Dan mereka (para polisi itu) ditugasi untuk melakukan penyidikan atas kecurigaan si tetangga.

Aku tersenyum. Apalagi, yang perlu ditakutkan? Dengan ramah kupersilakan mereka masuk. Pekik itu, kataku, keluar dari mulutku di saat mimpi. Kujelaskan kepada mereka bahwa si orang tua sedang tidak di rumah. Lalu, kubawa mereka melihat-lihat seisi rumah. Kupersilakan mereka memeriksa -- memeriksa dengan teliti. Akhirnya, kubawa ketiga orang itu ke kamar si tua. Kuperlihatkan kepada mereka barang-barang berharga miliknya. Semua aman, tak tercolek. Dengan kepercayaan diri yang melambung, aku mengusung kursi-kursi ke dalam kamar itu. Dan meminta mereka untuk melepas lelah di tempat itu. Sementara aku sendiri, dalam gelegak keberanian, karena kemenangan yang sempurna, meletakkan kursiku tepat di atas tempat aku menyimpan mayat si tua.

Para petugas merasa puas. Perlakuanku meyakinkan mereka. Aku sendiri merasa tenang. Mereka duduk. Sementara aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan keseharian yang normal. Tapi, sebentar kemudian aku merasa parasku memucat dan berharap agar mereka segera pergi. Kepalaku pening, dan aku merasakan penging di telingaku. Namun, mereka tetap duduk dan bercakap-cakap. Suara penging itu makin jelas: terus-menerus dan makin jelas. Aku bicara lebih keras untuk mengusir perasaan itu. Namun, suara penging itu terus saja dan makin pasti. Sampai akhirnya aku sadar bahwa suara penging itu bukan di dalam telingaku.

Parasku, aku yakin makin memucat. Namun, bicaraku lebih fasih dan lebih lantang. Suara penging itu "bangkit". Aduh, apa yang bisa kulakukan? Kudengar suara lemah, samar-samar, yang berdetak dalam tempo cepat. Seperti, detak jam yang terbungkus kain. Napasku tersengal. Namun, para petugas itu tidak mendengarnya. Bicaraku lebih cepat, lebih meyakinkan. "Bebunyian" keparat itu makin kuat. Aku bangkit dan mendebat segala topik pembicaraan yang sepele, dalam nada tinggi dan gerak tubuh yang kasar. Dan bunyi itu terus menguat.

Mengapa mereka tidak mau pergi? Aku mondar-mandir dengan langkah panjang dan menghentak. Seolah-olah merasa terganggu oleh pemeriksaan yang mereka lakukan. Tapi, bunyi keparat itu terus menguat. Ya, Tuhan! Apa yang bisa kulakukan? Aku meradang. Aku meracau. Aku mengutuk! Kuangkat kursi yang kududuki dan kuhempaskan benda itu ke lantai papan. Namun, kegaduhan yang ditimbulkanya tertelan oleh bunyi detak keparat yang terus menguat itu. Suara itu makin kencang, makin kencang, makin kencang! Para petugas, tetap melanjutkan percakapan seperti tak terjadi apa-apa. Mereka cuma tersenyum. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengar suara itu? Demi Tuhan! Tidak! Tidak! Mereka juga mendengar. Mereka curiga. Mereka tahu! Mereka pasti sedang menemoohkan ketakutanku. Kupikir begitu. Cara lain kurasa jauh lebih baik dari siksaan seperti ini! Cara lain apa pun lebih bisa ditanggungkan daripada pelecehan ini! Aku tidak kuat lagi melihat senyum pura-pura mereka. Aku merasa bahwa aku harus berteriak. Atau aku mampus! Dan sekarang, bunyi itu lagi. Dengar! Makin kencang. Makin kencang. Makin kencang!

"Jahanam!" aku memekik, "tak usah berpura-pura lagi! Aku yang melakukan semuanya! Bongkar saja papan ini di sini, di sini! Di sinilah dentam jantung keparat itu!"

Poe

Aku ingin menulis sebuah novel yang berbeda dengan novel-novel Indonesia biasanya. Aku sudah memiliki pikiran ini sejak umurku masih--kira-kira 13 tahun--belum layak berpikiran seperti ini dan aku sudah mempunyai satu folder khusus untuk penulisan novel ini. Belum kupastikan apa judulnya, tapi kemungkinan nama Caesar, Caesarion maupun Ptolemy akan masuk di cerita-cerita dalam novel ini.

The Emptiness. Album dari Alesana yang membuatku tertarik menulis novel. Dari sekedar mendengar lagu-lagu tersebut, sampai aku menemukan sebuah kebenaran dimana 12 lagu-lagu tersebut saling berkaitan dan membentuk sebuah cerita yang satu. Dennis Lee, growl vocalist, yang menulis cerpen itu sebelum mereka membuat album tersebut.

Dari cerpen yang ditulis Dennis Lee itu pula, aku mencari-cari bahwa ada faktor P, mengapa Dennis Lee menulis cerpen itu.. Dikatakan bahwa Dennis Lee juga tertarik oleh cerpen Edgar Allan Poe. Faktor P, ya faktor Poe. Nah, dari situ aku memulai pencarian cerpen-cerpen milik Poe sebagai referensi, yang nantinya menuntunku dalam penulisan novel ini.

Ayah membantai keluarganya sendiri macam kepala suku yang membantai klan yang diciptakannya sendiri. Dia membunuh semua yang dia lihat. Mulai dari perempuan yang dia lihat pertama kali saat ...


Hari itu aku juga belajar bentuk tubuh manusia. Luar dalam. Karena saat itu juga aku baru melihat secara nyata apa itu kolon, apa itu usus halus. Kolon, itu dipakai untuk membunuh semua saudariku. Menggantung mereka semua hingga kehabisan nafas. Tercekik oleh jonjot-jonjot penyerapan pencernaan itu....

Itu dua potong cerita dalam novel yang kelak akan di-publish dan membuat perbedaan sastra di negara ini. Selain itu, aku membuat label Poe untuk nantinya sebagai latihan menulis cerita Horror Gothic yang menyinggung tentang kerusakan psikologi orang..

Kerugian Murah.

Hampir sebulan lalu, kami baru saja berganti pacar, ketika sebenarnya kami tidak ingin berpisah dengan mantan kami. Tetapi semacam Ibu-tak-pernah-hamil mantan kami mencari masalah, lalu kita memutuskan mencari yang namanya hampir sama, bedanya cuma ada digit di belakangnya.

Harapan yang sangat tinggi sudah kami gantungkan untuk mereka yang mendapat kesempatan bersama kami. Kami saling mengincar dan sharing mana saja yang akan di-eksekusi, maksudnya agar tidak ada crash satu sama lain. Dan beberapa pacar kami mundur dengan alasan-alasan yang wagu dan asu.

Permainan yang kami mainkan bersama sudah cocok. Lalu lambat laun sifatnya keluar yang asli. Murah. Kami yang terbiasa mengusahakan, mengejar, eh malah kita yang dikejar, diusahakan. Nahlo?

Murah yang biasanya di-stereotype-kan dengan keuntungan, tapi malah berkebalikan. Ya, kami mengalami kerugian. Belum jelas? Pikirlah lagi. Kami juga berharap tak ada yang merasa tersindir, toh intinya kami tak pernah menyebut nama. Karena sejatinya Kecut itu kata dasar dari Pengecut.

Sekian. Saya tidak ingin share semuanya, toh kami sebagai kelompok senior sudah membicarakan hal ini. Dan. Kami. Jijik. Jadi intinya kerugian murah itu .. jijik.

Wassalam!

Untuk Seseorang..

Untuk seseorang yang terpaksa kita harus putus hubungan ketika aku berpindah kota. Sudah tiga tahun dan aku masih saja ingin mengambil pecahan hati yang masih terbawa.
Sedikit cerita bahwa aku masih ingin. Tapi semesta belum berkenan.
Mungkin kelak, ya?



I never see again pretty eyes, since the last time I saw your eyes. I never kissed again sweet lips, Since the last time I kissed your lips. Go go go go go go, things so fine before yo go. No no no no no no, well did I want it that way, the answer is no. The good old days has ended someway, it's not easy but this the only way. I never knew I’m so lucky to have you, until the day I’ve lost you, parallel life I’ll see you soon...

Dialog Bapak dengan Anak, Kelak.

Suatu waktu, disaat anakku sudah berumur 20 tahun dan jelas kondisi tubuhku mungkin sudah diambang penyakit, aku memutuskan untuk berbicara dengan anakku perihal kehidupannya terlepas dari masalah pendidikannya, yang seharusnya bisa selesai saat itu. Tapi sebelum aku memutuskan untuk berbicara dengan anakku, tiba-tiba kutemukan sebuah Dialog Bapak dengan Anak, Dulu.


Bocahku sudah besar dan kuharap dia tidak pernah lupa akan Tuhannya, sama seperti Bapaknya. Bocah itu mantap dalam langkahnya, perlahan melewati kamarku dan saat itu aku berada di dalam kamar..

"Nak, aku ingin membicarakan hal-hal mengenai kehidupan. Dimana dunia ini malah sedang dalam keadaan aneh--terlepas dari ekonomi keluarga kita--aku melihat kita merupakan keluarga yang, yaaa.. bisa dibilang kita semacam keluarga cemara. Tapi tentunya kita bukan keluarga Cemara karena kita tidak ditayangkan di TV. Mungkin Bapak bisa menyebut keluarga ini keluarga Mahoni atau entahlah apa itu. Hahaha, lupakan. Bagian tadi Bapak basa-basi.
Kau tahu hampir semua bocah pada jamannya, ingin memiliki cita-cita dimana 'aku tidak akan jadi seperti Bapak. Keluargaku akan lebih baik!' Aku tahu. Bapak juga sempat seperti itu dengan Dinasti Eyangmu saat itu. Tapi tidak berlanjut sampai Bapak mau lulus SMA. Keluarga yang Bapak idamkan saat itu tentu kedamaian antarkeluarga, kalau bisa yaa seharmonis keluarga Cemara, sekaya keluarga Cendana dan seeksis keluarga Cikeas.. Jika dilihat dari jaman buyutmu, Buyut mengharapkan anak yang banyak dengan harapan masa itu 'banyak anak, banyak rizki' saat itu lho ya, tapi.. Jaman eyangmu, sudah tidak seperti itu karena ekonomi negara kita semacam labil, apalagi Eyang Uti saat itu memutuskan untuklebih memilih momong daripada bekerja di luar kota.
Yang kusesali saat masa buyutmu, dimana 'banyak anak, banyak rizki' itu malah jadi senjata makan tuan. Semacam 'banyak anak, banyak masalah' memang bukan di masa Sang Raja masih menguasai Dinasti itu. Tapi ketika Sang Raja sudah digantikan oleh kekuasaan generasi dibawahnya. Lalu keadaan semua terpecah-belah dan BANG! Crash sana-sini, sekutu itu-ini. Semuanya saling pamer, semuanya saling memutuskan untuk mencari sekutu yang cocok, lalu dengan yang tidak sekutu main olok.
Tidak, Bapak sampai saat kejadian itu sudah tidak ingin lagi melihat sekutu-atau bukan. Persetan dengan semuanya. Sejak saat itu, Bapak ingin menggunakan nama yang Eyang Kakung berikan untuk menjadi nama marga kita. Kuharap kamu bisa meneruskan nama ini. Karena sejarah dan cerita kita yang tulis, bukan hanya diingat lalu lenyap pada generasi berikutnya."


Karena sejarah dan cerita kita yang tulis, bukan hanya diingat lalu lenyap.

Dialog Bapak dengan Anak, Dulu.

Bapak masih ingat aku pernah tanya tentang St. Virgil?
Nah aku juga sempat ingat dengan Virgil dan Dante di cerita Devil May Cry 3.
Apakah Virgil itu benar-benar nama orang kudus, atau ada kisah dengan menggunakan nama Virgil?

Satu lagi, Stephen Hawking pernah bilang "Tuhan tidak pernah ikut campur dengan pembuatan Tata Surya".
Kalo menurutku, itu cukup masuk akal. Beberapa minggu setelah kata-kata itu, Dia (Hawking) bicara lagi "Surga itu tidak ada! Surga hanya sebuah imajinasi di saat manusia hidup. Bagaimana manusia bisa berimajinasi lagi tentang surga? Sedangkan ketika manusia mati, otak manusia tidak lagi bekerja"

Nah, itu yang aku bingungkan. Apakah selama ini yang aku terima tentang keindahan-keindahan surga, kehebatan Tuhan itu cuma semata-mata doktrin dari Agama masing-masing?
dan jawaban Bapak saat itu ...

Santo Virgil tercatat dalam sejarah, juga ada peninggalan fisik berupa katedral, seperti yang Bapak kirim dulu. Ada tokoh bernama Dante yang menulis puisi epik berjudul Divine Comedy. Imaginasi penulis biasanya berangkat dari fakta dasar, tetapi bisa meliar sampai melewati batas akal dan membingungkan atau menyesatkan pembacanya. Kristen terus menyelidiki isi Injil. Sebagian sampai bahkan kehilangan keyakinannya semula, sebagian bisa menalar keyakinannya, sebagian lain beralasan bahwa Iman tidak bisa di-Nalar dan tetap bisa menerima "keterbatasan" Injil. Konsep Trinitas (Satu Allah, Tiga Pribadi), misalnya, bagi psikologi modern adalah Schizophrenia (salah satu bentuk masalah jiwa yang sering dianggap sama seperti kegilaan.)

Hawking adalah ahli fisika terkenal, begitu juga Einstein. Mengapa dua tokoh pemikir besar bidang studi yang sama bisa berpendapat berbeda? (Lihat kembali file mengenai perdebatan Einstein dan dosennya di MIT.) Tuhan Bapa yang tidak teridentifikasi, kita kenali dalam kehadiran Yesus (lihat bacaan misa Kenaikan Isa Al Masih.) Dan Allah Putra itu sudah mengingatkan bahwa kehadirannya akan menyebabkan pertentangan. Percaya/ Tidak Percaya akan keberadaan Tuhan, menurutku, adalah bentuk yang tidak spesifik dari pertentangan Percaya/ Tidak Percaya kepada Kristus.

Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk percaya, melainkan membuka peluang bagi manusia untuk menggunakan akalnya guna menerima atau menolak Dia, dengan konsekuensi Surga/ Neraka yang kehadirannya pasti ditolak oleh yang menolak Tuhan. Carl Gustav Jung, tokoh psikoanalisis selain Sigmund Freud, menjawab "I know God exists," ketika ditanya apakah dia percaya kepada Tuhan. Perhatikan jawabannya! "I know/ Saya tahu", bukan "Ya, saya percaya," atau "Tidak, saya tidak percaya." (Padahal psikoanalisis, terutama Freud, cenderung menitikberatkan permasalahan manusia pada bawah sadar/ subconscious.) Masalahnya, Jung pernah mengalami sendiri out-of-body experience, dan pengalaman batin itu mendasari jawabannya di atas.

Kalau diperpanjang, terkait konsekuensi menerima/ menolak Tuhan, terutama pada saat kita tidak yakin akan keberadaan Tuhan, adalah memanfaatkan "kemungkinan." Buatlah matriks Sekarang percaya/ tidak percaya, dan Ternyata Tuhan Ada/ Tidak Ada.

(1) Sekarang tidak percaya dan ternyata Tuhan tidak ada berarti tidak rugi juga tidak untung.
(2) Sekarang tidak percaya dan ternyata Tuhan Ada, berarti Neraka (rugi).
(3) Sekarang percaya dan ternyata Tuhan Ada, berarti Surga (untung).
(4) Sekarang percaya dan ternyata Tuhan tidak ada, berarti tidak untung juga tidak rugi (karena kamu percaya!)

Setidaknya itu yang kuingat pembicaraan dengan Bapak saat aku berumur jagung itu. Saat itu, aku sudah termakan dengan fakta-fakta dimana aku sulit untuk memikirkan Tuhan, dimana aku sudah memilih untuk jarang ke Gereja dan lebih penting istirahat di kamar, karena kehidupan saat itu membuatku pening, dan itu sangat penting!

Cinta Nyawa pada Hampa

"Aku mencintaimu!"
teriaknya pada Hampa

Hanyalah isak tangis yang Nyawa bisa berikan
Dikarenakan Hampa hendak pergi
meninggalkan pujaan hati
Nyawa namanya.

"Sudahlah.."
Dekap Hampa.
Hangat pelukan Hampa membuat kekasihnya menggigil.
Tetesan isak tangis Nyawa membuat dirinya mencair.

"Kita akan berjumpa lagi."
Nyawa meyakinkan
"Minggu depan?"
tanyanya
"Waktu itu pembatas. Lupakan tentang batasan waktu."
ujar Hampa.

Malam itu,
berpisahlah Hampa dengan Nyawa.