Selamat, Kartini.

Selamat RA Kartini. Saya enggan merayakan hari ini, karena emansipasi gender yang Anda koar-koarkan, sekarang sudah berlebihan!

Seperti kata Brama,

Emansipasi wanita diciptakan untuk men-sederajat-kan wanita dengan pria. Bukan menjadikan wanita macam pria.

Please, gals.. That's enough.

Orang di Kerumunan

Lelah sudah. Apek sudah. Pening sudah. Pagi sudah.

Hari sabtu kemarin sebenarnya ada dua acara yang sudah teragendakan. Malam keakraban dan nonton ben-benan. Tiba-tiba agenda pertama kandas sudah. Yudhis tiba-tiba gak mood dan lebih memilih main PES13, yah namanya barengan--moodnya juga buyar bareng. Memang motivasi awal ikut malam keakraban hanya untuk dikenal adik kelas dari sekolah homogen cewek satu itu. Namanya juga membangun relasi, atau setidaknya investasi masa depan? Siapa tau ada adik kelas perempuan rabun yang tertarik dengan wajah tampan tua ini. Tapi karena Altair lebih memuaskan birahi saya daripada adik kelas betina bermuka iguana itu, saya berpaling untuk menemani Altair menerima perintah dari Al Mualim dan Buearu di masing-masing kota. Sudah lupakan kalau gak ngerti.

Agenda kedua, melepas adrenalin.
Malam kemarin adalah malam dimana aku sudah lunas memenuhi cita-cita untuk tetap diam di tengah-tengah kerumunan yang sedang moshing, kerasukan. Sebuah adrenalin yang kagol. Karena tubuh ini--otak ini memaksa ketakutan akan hantaman-hantaman itu untuk hilang. Cuma sedikit paranoia dengan keadaan saat band puncak malam kemarin berkumandang, karena jelas mungkin ada hantaman atau kaki yang menjelajah hingga kepala ini dari belakang. Arma-goddamn-motherfuckin-geddon.
Animo-animo fans yang semakin lama semakin meracuni keindahan karya-karya yang mereka ciptakan, juga meracuni bahkan membuatku cukup untuk di opname 3 minggu atas ulah fans bedebah-bedebah itu. Pikiran yang mungkin tercipta,

"WAH! Kalo nggak tau band ini, kalo gak punya merchandise band ini, kalo gatau lagunya berarti nggak gaul!"

Dasar tahi kuda! Mereka ... kuharap mereka tahu diri.
Saya penikmat karya, kami penikmat karya.



WOW,



Pengecut.

Lihat! Betapa semangatnya Brama menulis Kata-Kata..

Sepakbola, sudah menjadi salah satu roh dunia. Mencoba memungkirinya? Berarti sama saja dengan menyangkal ribuan manusia penikmatnya (termasuk saya salah satunya). Sepakbola, olahraga yang hampir mengandalkan seluruh kemampuan fisik.  Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah permainan ini sendiri. Sepakbola yang 2004 silam diakui secara resmi oleh badan sepakbola dunia (FIFA) bahwa olahraga ini berasal dari Cina, dahulu dipergunakan untuk melatih fisik para prajurit kerajaan pada zaman Dinasti Tzin (255-206 sebelum Masehi). Dalam memanfaatkan dan memanuver permainan ini, Cina tidak ada apa-apanya dibanding dengan Yunani. Yunani mengadopsi permainan ini dengan biadab. Harpastron (sepakbola dalam bahasa Yunani), lebih mirip kerusuhan massal pada jaman kejayaannya (800 tahun SM). Bagaimana tidak,  lapangan yang tidak mempunyai batas-batas pasti dan luasnya yang ditentukan lewat jumlah pemainnya. Jika memang begitu, bagaimana bila permainan tersebut dimainkan oleh 100 orang? Cukup berpotensi, menjadi ajang “muntah-muntahan” serta menimbulkan kematian. Setidaknya, mati karena bermain sepakbola cukup epic dibanding mati karena banyak menghisap rokok, atau terlalu banyak mengonsumsi MSG. Inggris lebih gila lagi. Dalam The Anatomie of Abuses (Philip Stubbes, 1583) ketidakmanusiawian sepakbola terekam jelas: “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan. Pemain yang selamat banyak yang cedera parah”. Cedera parah dalam sepakbola modern kini paling tidak adalah patah kaki. Tapi coba kita lihat pada masa olahraga ini (entah, saya ragu pada era tersebut apakah sepakbola pantas diklasifikasikan olahraga atau tidak) berjaya di tanah Britania. Dalam buku yang sama,dipaparkan klasifikasi cedera parah adalah: remuk tulang punggung, kepala bocor, mata picek, dan seterusnya. Seolah-olah sepakbola sudah didesain dari pria, untuk pria, dan bagi pria.

Dalam perkembangan jaman, sepakbola sudah menyangkut banyak hal yang akhirnya membuat sepakbola sebagai pertunjukkan sejuta umat menjadi lebih manusiawi. Akibatnya tidak hanya pria yang sekarang menikmati sepakbola, mata wanita pun sekarang bisa lebih nyaman menonton sepakbola.

Akhir-akhir ini wanita (terutama yang sebaya atau beberapa tingkat umur diatas saya) sedang ada pada transisi dari seorang yang hanya tahu tentang sepakbola  menjadi seorang yang “mencoba menjadi” penggemar sepakbola. Wanita sekarang ramai-ramai membeli warna-warni seragam sepakbola (lebih akrab kita dengar dengan nama jersey). Sebuah fenomena yang membuat saya menanggapinya dengan pernyataan berikut: “WAG’s (wife and girlfriend) pemain sepakbola yang notabene punya hubungan erat dengan sang pemain sepakbola saja tidak memakai jersey tim  suami/kekasih mereka.”

Wanita menganggap sepakbola hanya sebatas perkara maskulinitas pemain-pemainnya serta menterengnya jersey-jersey tim sepakbola yang akhir-akhir ini mulai menjadi (mungkin lebih tepat dijadikan) basis suatu mode berpakaian. Sepakbola bukan hanya perkara didalam arena. Wanita hampir lupa (atau mungkin tidak tahu) bahwa ada senyawa penting diluar arena yang bisa benar-benar menghidupkan sepakbola, bernama supporter. Mari bicara supporter jika memang wanita menyukai sepakbola secara utuh, karena the game isn’t the game without supporters. Suporter,  menurut KBBI berarti  orang yang memberikan dukungan, sokongan (dalam pertandingan).  Suporter,  menurut realitanya dibagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan apa yang dia lakukan selama mendukung tim jagoan mereka. Misalnya hooligans yang berorientasi merusuh, lalu ada pula ultras yang rela berdiri dan menyanyi sepanjang 90 menit mendukung tim kebanggaan mereka. Apa yang mereka lakukan adalah proyeksi masing-masing dari sebuah kebanggaan dan loyalitas.

Lalu, pertanyaannya adalah: jika wanita benar-benar ingin menjadi seorang penggemar sepakbola siapkah mereka dengan hal tersebut?
Bukan maksud saya mengartikan menjadi penggemar sepakbola harus menjadi hooligan atau ultras. Tetapi adalah kebanggaan dan loyalitas sebagai pendukung sebuah tim sepakbola itu sendiri. Sudah seharusnya sebuah loyalitas terhadap suatu tim adalah harga mati bagi the truly fans manapun. Siapkah wanita bertahan pada identitas kesepakbolaannya jika tim yang didukung mengalami kemunduran seperti misalnya mengalami kebangkrutan dan degradasi?

Sikap tidak loyal dalam sepakbola dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Ketidakloyalan sebagai fans cukup menjadi hal yang bisa dijadikan sebagai bahan olok-olok diantara pecinta sepakbola. Tanpa dilandasi sikap berpikir yang dewasa,  berpotensi memantik perpecahan

Jika loyalitas sudah teruji, lalu pertanyaan selanjutnya adalah, cukup dewasakah wanita menanggap pecinta bola yang sedikit gila bicara suka-suka dan celakanya sudah menjadi budaya? Atau justru nanti saat saling memperdebatakan juga sindir menyindir tim kebanggaannya malah terjadi cakar-cakaran, setelah itu ada pihak yang tidak terima lalu dibawa keranah hukum? Sepele sekali.

Saya melihat gejala imperialisme wanita terhadap hal-hal yang seharusnya tidak mereka sentuh, yang merupakan akibat dari kemerdekaan mereka (baca:emansipasi). Bukankah semua sudah ada koridornya masing-masing? Sama halnya ketika pria tidak patut menyentuh alat kosmetik untuk keperluan yang tidak kontekstual, kira-kira begitulah setidaknya wanita untuk tidak menyentuh sepakbola. Wanita sudah terlalu overload perkara emansipasi. Emansipasi wanita sekarang, adalah emansipasi yang sifatnya adalah berusaha untuk menjadi seperti pria.  Bukan lagi emansipasi yang berusaha untuk sederajat dengan pria.

Bagi saya, masalah wanita ingin berdandan menyerupai laki-laki, menyukai music rock, dapat mengendarai mobil, itu bukanlah suatu masalah. Wanita sudah terlalu leluasa melakukan apa saja dengan emansipasi mereka. Pria juga butuh sesuatu yang benar-benar khusus pria, layaknya kosmetik yang peruntukannya khusus untuk wanita. Dalam hal ini yang bisa diistimewakan khusus untuk pria adalah sepakbola. Mengapa?  Kembali lagi pada sejarah sepakbola yang membentuk sepakbola menjadi permainan dari pria, untuk pria, dan bagi pria.

Jika wanita bermain sepakbola, lalu siapa yang akan bermain boneka? Jika wanita menonton sepakbola, lalu siapa yang akan menonton telenovela? Jika wanita yang memakai jersey sepakbola, tidak lucu jika memakainya dengan cap beha.
~Aloysius Bramadintyo

Optimispus yang Luput Terus..

Optimispus yangluputterus

Sebuah nama baru untuk seorang Homo sapiens yang selalu luput dalam mengejar sapiens perempuan.

Terlalu tolol untuk sebuah pengejaran gadis. Hampir setahun, sepertinya sudah ada tiga atau empat gadis yang luput dari kejaran saya. Sangat tololnya, ketika aku memulai fixture di saat yang kukira sangat tepat dan tidak ada satu minggu ... no response. Mual! Memulai tanggal 31 Maret dan jatuh saat lap ke-6. Yap, enam hari dari start. Lap yang terlalu singkat kubilang. Almost a week, but a week is too mainstream. Kecelakaan pada lap ke-6 itu bukan karena kesalahan strategi, disalip pembalap lain, atau kesalahan teknis pada pengaturan motor yang kugunakan. Kecelakaan itu dikarenakan, finish yang kuinginkan memang sudah senang dengan juara dunia lalu yang pernah memenangkan hatinya. Stalking pun berguna juga. Dan yang sangat disayangkan adalah, saya sebagai pembalap terlalu ambisius optimispus terhadap GP ini. Damn!

Adanya idiom tentang 'Mati satu tumbuh seribu' ternyata benar juga, setelah lima hari handphone dan LINE yang syuwung, ada juga gadis yang tiba-tiba meramaikan chat. Praise the Lord! Sudahlah, sebaiknya tidak terlalu ambisius dan optimis kali ini, let it flow~

cheers,



Pengecut.

GRANAT: Harlem Shake


#1 Version

===========================================================================


#2 Version

Mendongeng Pencerita.

"Kemenangan memerlukan pengorbanan."
Walaupun rapor sudah dibagi tetap saja saya harus menatap kebawah. Tanah merupakan tontonan bagi mereka yang masih merasa belum maksimal. Sedangkan langit merupakan tontonan mereka para kaum yang sudah merasa maksimal dalam usaha. Sudahlah.

Hari ke hari, entah karena jiwa homo ini semakin bangkit atau karena lelaki itu tambah cantik? Itu yang beberapa hari ini diperdebatkan oleh teman-teman. Brama yang tiba-tiba terangsang karena melihat lelaki itu bertambah cantik. Damn! Bayangkan betapa cantiknya lelaki itu! Andaikan saja ada fotonya, betapa sangenya kalian melihat lelaki itu.

**

Teman lama kelas X yang sekarang merasa unknown karena dia termasuk dari salah satu dari enam siswa Bahasa. Tiba-tiba datang ke arah kerumunan kami dan mbanyol,
"Aku mau investasi burjo-an. Aku bikin warung makan gitu. Di sebelah tulisannya ada fotoku lagi posisi nyembah ke atas sambil pasang muka melas. Biar semua orang yang liat kasian, trus beli di burjoku."
Makhluk nista ini satu tingkat dibawah kenistaanku. Pernah dia juga cerita tentang masa pacarannya yang berlangsung selama 5 minggu. Ditanya Pakdhe, teman kami, sampai mana pacarannya, dia jawab:
"Udah aku grepein. Tapi tau nggak, teteknya sama tetekku lebih besar tetekku daripada teteknya." *ngelamun*
Bocah ini kalo ditanyain tentang hobi pasti dia bakal jawab "Bengong." Kebiasaan mungkin sejak kecil atau entah darimana makhluk hina ini bisa menikmatinya. Bahkan iblis, setan macam manapun enggan merasuki tubuh itu, maybe sih.. Kebiasaannya sering diamati sama temen kelasnya. Saat aku tanya dia lagi dimana, temennya jawab
"Biasalah. Masih di kelas. Dia kalau udah bel pulang sekolah pasti langsung ngelamun, bengong mikirin masa depan.. Hoooooo... hoo~" *niruin cara bengongnye*

**

Walaupun jiwa homo ini bangkit perlahan-lahan tapi tetap saja saya butuh lawan jenis untuk pada tujuan akhirnya melampiaskan hasrat bermesraan dengan lawan jenis. Sedang proses mendekati gadis yang tidak pernah bertemu, hanya sekedar saling tertarik ketika melihat avatar twitter kami masing-masing. Gadis kurang beruntung ini berada di Semarang, sedangkan lelaki sangat beruntung ini berada jauh 118 km (liat internet) di selatan. Semoga ...