Opinion education

Selama ini kita selalu dituntut, dituntut dan dituntut. Sekarang kita ber-sekolah, dapat nilai bagus? Bukan, inti dari kita sekolah hanya untuk mendapatkan kertas resmi dari pemerintah, lalu kita meneruskan sekolah sekolah dan sekolah lagi dan akhirnya kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan imbalan segitu-segitu saja. Saat semua 'anak cerdas' itu belajar dan para 'murid terabaikan' itu lebih memilih menekuni hobinya, macam bermusik, menulis, melukis dan lainnya; para 'anak cerdas' akan lulus dengan nilai perfeksionis yang tercantum di lembar pemerintah itu, lalu bekerja sebagai budak-budak perusahaan yang monoton. Berbeda dengan 'para terabaikan' ini, mereka masih punya potensi di bidang yang lain. Walaupun mereka bekerja sebagai budak perusahaan, tapi mereka tetap punya hobi yang mereka tatahkan di dalam otak mereka.
"Kita belajar sampai mati." Benar kan? Sekolah identik dengan kata 'belajar' maka dari itu kita hidup untuk selalu belajar.

Dari belajar, dengan tujuan untuk menggapai kertas yang sejenis, kita akhirnya harus mengalami serangan otak macam epilepsi ringan yang sering kusebut dengan stress. Stress? Kita selalu ditekan untuk mencapai tujuan akhir. Tapi tidak semua orang sama. Bapak pernah bercerita tentang perbedaan tentang dirinya dan kakaknya, ya Pakdhe ku.

"Pakdhe mu ki semacam bola bekel. Yen dibalang ning tembok, bal kuwi bakal mantul. Bakal sadar. Yen bapakmu ora. Bapak dibalang ning tembok, meneng tok."

Tidak semua orang semacam bola bekel. Sadarilah banyak bola yang para leluhur ciptakan. Tentu ada segelintir orang juga yang seperti bola tenis, bola pelir, ataupun bola Rugby / American Football.
Bola Rugby. Mereka mengarah lurus ke tujuan, tapi pada akhirnya mereka harus jatuh dan memantul, bahkan pantulannya tidak jelas akan memantul kemana. Bola pingpong yang pantulannya sempurna, tetapi dalamnya kopong? Macam orang tak punya otak--atau generasi anti galau, tapi bingungan--yang sedang maraknya beredar di dunia ini. Terlebih di Jawa.


Hallo, all the motherfather! Kita selalu mengalami istilah "Kita hanya murid, murid selalu salah." Betapa hina nya murid ya kan? Mungkin derajat kita di bawah ular beludak ya? Kalau banyak orang mendengar tentang istilah fashion bernama Old School dimana dandanan mereka semacam murid-murid di era 70's ke bawah. Tapi sepertinya istilah itu terlalu harafiah. Bagi ku istilah Old School bisa dipakai ketika kita sebagai murid yang selalu salah di mata pengampu pelajaran-pelajaran biadab. Dimana para calon budak (murid) harus paham dengan pemikiran guru-gurunya, sedangkan guru acuh tak acuh dan persetan dengan pemikiran murid-muridnya. Lambat laun, kita akan terus tertekan dan akan terbawa di alam bawah sadar kita.

Beyotch!

Sabtu, 4 May 2013 lalu. Ada ajakan dari teman untuk menjadi sukarelawan para calon Psikolog dari Universitas di Sleman. Setelah masuk ruangan, sepertinya hanya tiga dari SMA. Ya, kami. Waktu yang diberikan 30 menit untuk mengerjakan soal yang cukup untuk kami bertiga kerjakan dalam waktu 10 menit. "Tes terlalu lama, terlalu mudah, atau peserta lainnya memang lambat?" Sempat pikiran tersebut muncul, dan aku harus mengakui ini efek samping dari tekanan yang kami dapatkan.
Guru selalu menekankan kepada muridnya agar bisa, bukan paham. Dua minggu, 6 jam pelajaran, 3 jam kosong, 1 jam untuk ulangan. Klasik. Tak ada buku paket, dan guru akan marah jika tidak ada yang mempunyai modul. Klasik. Guru menjelaskan, murid tidak paham, guru marah, murid takut lalu mengandalkan pada tentor yang orang tua sewa agar anak-anaknya bisa, bukan paham.


Mau apa kita? Lari dari kenyataan? Keluar sekolah dan kau akan mendapatkan peluang yang sangat sedikit untuk memperoleh pekerjaan yang akan menghidupimu. Kita tidak akan bisa keluar dari stereotype dunia ini. Yakin ingin keluar dan ingin berguna?  Jihad lah!


"Banyak bola di dunia ini. Bola apakah dirimu?"

Humongo Mundo!



Pengecut