Sosok yang dimaafkan Nyai Ratu Selatan

Pantai itu jauh dari peradaban,
sedangkan kami sedang mengalami ratapan.
Tidak hanya mencari teman,
salah satu kunci kendaraan juga kehilangan.
Sepertinya kami kehilangan jalan pulang.

Kami tak bisa meninggalkan.
Dua masalah yang bertubrukan.
Tetua mengajak sejenak tenang.
Tenang dari keadaan batin yang sedang perang.

Sebagian dari kami meminta maaf kepada alam,
atas kelancangan yang telah kami lakukan.
Sebagian bukan kepada alam,
tapi Nyai Ratu selatan.
"Tolong maafkan, kembalikan kami punya teman.."

Setetes air mata kesedihan, ekskresi dari ratapan.
Emosi perempuan memang berlebihan,
dan itu salah satu cara maaf pada Nyai Ratu selatan.

Dua sosok muncul dari kegelapan,
dengan raut yang tak diharapkan.
Mereka berdua tak tahu apa yang sedang kami pikirkan.
Tangisan, ratapan, berubah menjadi perlawanan.
Sang pria lah yang dilawan, sang gadis lah yang menangis gantian.
Gadis meminta maaf terlalu berlebihan.
Sudahlah, yang penting kau sudah kembali, teman.


- Pengecut

Pantai Gulita Benderang

Sebelumnya,
kami berkumpul pertamanya
menyaksikan kehebatan alam buatan-Nya.

Pasir hitam kelam,
debur ombak terkepak.

Petang datang, matahari tampak mati.
Bergantilah, kekuasaan rembulan.

Terang remang, gulita benderang.
Hati mulai kelam, berbayang masa silam.
Beberapa dari kami memutuskan berjalan,
ingin membicarakan masalah yang harus diselesaikan.
Masalah cinta, sepertinya.

Semakin malam, deburan ombak semakin geram.
Hati Nyai selatan mulai tak tersabarkan,
melihat pasangan mengobrol pelan,
di dekat bibir pantai saling menggenggam tangan.

Terang remang, gulita benderang.
Tetua kami ternyata merasakan, adanya kepergian.
"Ada pasangan hilang! Cepat cari sebelum rembulan terbang."
Tidak efektif mencari di malam kelam,
teman kami sudah hilang...


- Pengecut

Update Terus Sampai Mati

Pagi hari, ketika mereka terbangun,
di dekapan para embun.
Bukan nyawa yang dicari,
handphone mereka tetapi.

Mengabari seseorang yang tidak butuh kabar.
Memberitahu seseorang yang tidak perlu tahu.

Jejaring sosial tiada henti.
Alasannya sosialisasi.
"Kita kan makhluk sosial"
kata makhluk hina bernama manusia.

Soc-med.
Maunya gratis, beli pulsa malah nyopet.
Tidak mau tahu, dan gak modal "berani"
Pengen eksis, tapi kepepet.
 Orang-orang kemasu berjati diri tahi.

Niatnya kontak pasangan, 
di mata orang malah mengumbar kemesraan.
Niatnya sharing foto,
jadinya forum porno.

 Jejaring sosial,
tempat persembunyian dari orang tua.
Harapannya orang tua tidak sotoy,
malah karakter kita jadi letoy.

"JANCUK! ASU GELUT WAE PIYE?"
Mereka berani menantang,
di tempat persembunyian orang-orang.

Media. Sosial. Masa. Kini.

Rasa Ke-tujuhbelas-an

" ♪♪ Enambelas Agustus tahun empat-lima.. Besoknya hari kemerdekaan kitaa~ ♪♪"

Lagu konyol itu mengiang dikepala. Sampai-sampai aku hampir jadi gila, karena masuk angin. Dan aku mengakui bahwa tidak ada hubungannya. Ups.

Pagi hari, sekitar jam setengah tujuh, hampir semua jalanan dibanjiri motor-motor dan bawahan seragam dari merah, biru tua, sampai abu-abu. Antusiasme mereka tidak terlihat dari raut wajah mereka. Mungkin sekedar antusias "mau kemana setelah ini?" Setelah upacara. Mereka sudah disibukkan dengan janji mereka, tentunya. Sepertinya, tidak semua, hampir semua, mempertanyakan apa maksudnya acara ini.

Sepertinya hampir semua upacara dipertanyakan ya? Mulai dari upacara formal yang sedang kutulis ini, upacara pernikahan, upacara pemakaman, upacara pelantikan. Kukira bukan upacaranya yang diikuti, biasanya mereka--kita--mengikuti upacara karena suatu hal, yaitu acara setelah upacara.
  • Upacara pernikahan. Hanyalah pengantin yang berbahagia menurutku. Di satu sisi, sepasang casutri (calon suami-istri) itu sudah akan bersama selamanya, dan mereka pikir hal itu paling indah. Mereka pikir cuma keindahan-keindahan sekedar hidup bersama, mempunyai anak lucu dan nantinya akan senang di masa pensiun mereka. Kenyataannya, saat kita bayi menjadi mainan para orangtua. Saat lansia, kita menjadi mainan para anak-cucu kita. Life. Cycle. Di lain tempat orangtua dan mertua mereka masih judeg memikirkan bagaimana cara membayar tagihan pernikahan anak mereka yang aneh-aneh.
  • Upacara pemakaman. Orang terdekat saja yang menangis. Menangis apa? Terkadang sebagian dari mereka menangis karena ada janji/hutang yang belum terbayarkan. Selebihnya dari mereka? Menunggu momen makan-makan. Bah.
  • Upacara pelantikan. Sejujurnya banyak yang tidak menyukai hal ini. "Kenapa dia, bukan aku?" Banyak pesaing-pesaing orang yang dilantik itu sebenarnya tidak setuju. Karena jika orang yang berpikir seperti itu, mungkin bisa bangga akan jabatan yang dikenakan, penghasilan yang diterima, dan pekerjaan yang mungkin hanya memerintah bawahan.

Pagi itu, sempat ku memeriksa Twitter, apakah ada Trending Topic disana. Sebenarnya kita--bangsa Indonesia muda--yang sering bermain jejaring sosial, bangga akan hashtag atau apapun yang masuk di Trending Topic World Wide. Menurutku bukan bangga, lebih tepatnya narsis. Sebenarnya apakah masuk hitungan Nasionalisme, kalau di Twitter dengan lantang--sebetulnya bukan lantang--mengetik tweet-tweet yang mengatasnamakan Indonesia? Bukan. Itu Narsisisme. Narsis.

Ada juga beberapa akun yang lebih condong ke hal negatif.
@jenglot: Harus gak sih ikut upacara? Males bet -_- Zzz

@kencur: Di mimpi aja lah cuy, males RT @sembako Upacara lah! RT @kencur: Indonesia's Independence day!! Markitdur, mari kita tidur
Yen kowe males, njuk ngopo? Kalau semua akun seperti itu, berarti media sosial sebenarnya tempat berkumpulnya uneg-uneg dan akun kepo. Toh akun-akun kepo juga mengucapkan setidaknya tweet positif, bukan tweet yang mengutarakan ke-males-an pemilik akun semacam diatas.


Di satu sisi, anak muda sedang koar-koar mengenai Upacara 17 Agustus, yang hanya sekali di laksanakan. Di lain sisi, para Veteran, para pejuang kemerdekaan yang beruntung masih hidup ....



FYI: Saat itu, saat Soekarno mengusulkan perihal Pancasila. Sempat ada yang kontra dengan jumlah lima. Sempat Beliau mengusulkan lagi, tetapi hanya satu. Nasionalisme.




 -Kalau semua akun seperti itu, berarti media sosial sebenarnya tempat berkumpulnya uneg-uneg dan akun kepo.

Kecut

Nantinya akan ada label baru.
Kecut.
Dari kata Pengecut.
Kau pikir apa kata dasar pengecut?
Ngecut?
Ecut?
Menurutku Kecut.

Seperti Bunuh, dari Pembunuh.
Seperti Perkosa, dari Pemerkosa.
Seperti Jantan, dari Pejantan.

Kecut.
Yang nanti artinya;
tulisan-tulisanku mewakili judul blog ini.
Pengecut Bercerita.
Cerita-cerita kecut.
Oleh Pengecut.

Wassalam.

Vivere nella nuova vita

Vivere nella nuova vita | Live in the new life | Hidup di kehidupan yang baru | Urip ning donya anyarku | العيش في حياة جديدة

Sakjane, mbok tenan aku males nulis.. Sebenernye males banget buat nulis sesuatu, padahal bulan sebelumnya kosong ga ada satupun tulisan yang tertulis disini. Namanya juga selo. Sekedar mau menyimpan memori di suatu Cloud, bahwa ...


Hell Yeah
Three Times in a row.

Sebelumnya, H-1 berkumpulnya lagi para bedebah (begitu aku menyebut kami). Nama ku, dan nama lelaki tertua di foto itu menjadi trending topic dan itu salah satu yang membuatku shock. How can I grow with the same situation every fuckin' year?

Dan .. ? Selalu ada saja kemarahan lelaki itu yang membuat jengkel--bukan jengkel sih, semacam wagu melihat cara marahnya yang lucu dan.. ya.. wagu--kami para 'anak-anaknya,' katanya. Dimana beliau marah dan menganggap kami sebagai murid, lalu di jam berikutnya dia mengatakan ingin menyelesaikan sebagai 'bapak' kami. Wagu kan? Bagaimana bisa orang marah dengan dua kepribadian? Dengan topik yang sama pula! Oh ya, china-boy berbaju batik ungu di sebelah kiri beliau, adalah korban ke-wagu-an nya tahun ini. Setelah sebelum-sebelumnya memakan banyak korban.

Baiklah, bukan cuma itu yang akan kubahas.. Tidak baik juga menyimpan Cloud negative.

Intinya aku bersyukur masih bisa merasakan tegangnya kelas puncak di High School ini. Lalu selanjutnya, akan memulai gambling dalam menentukan kehidupan. Beberapa dari mereka sudah jelas, dan sudah diperkirakan masa depannya. Beberapa dari kami belum jelas kehidupannya.

Semoga, Dewi Fortuna dan hal lain sebagainya membantu kami.

Teachers don't care about what we do. We dont even hear them.
In their eyes we are always wrong. That’s why we always cheat them-Cognition, The SIGIT