Dialog Bapak dengan Anak, Kelak.

Suatu waktu, disaat anakku sudah berumur 20 tahun dan jelas kondisi tubuhku mungkin sudah diambang penyakit, aku memutuskan untuk berbicara dengan anakku perihal kehidupannya terlepas dari masalah pendidikannya, yang seharusnya bisa selesai saat itu. Tapi sebelum aku memutuskan untuk berbicara dengan anakku, tiba-tiba kutemukan sebuah Dialog Bapak dengan Anak, Dulu.


Bocahku sudah besar dan kuharap dia tidak pernah lupa akan Tuhannya, sama seperti Bapaknya. Bocah itu mantap dalam langkahnya, perlahan melewati kamarku dan saat itu aku berada di dalam kamar..

"Nak, aku ingin membicarakan hal-hal mengenai kehidupan. Dimana dunia ini malah sedang dalam keadaan aneh--terlepas dari ekonomi keluarga kita--aku melihat kita merupakan keluarga yang, yaaa.. bisa dibilang kita semacam keluarga cemara. Tapi tentunya kita bukan keluarga Cemara karena kita tidak ditayangkan di TV. Mungkin Bapak bisa menyebut keluarga ini keluarga Mahoni atau entahlah apa itu. Hahaha, lupakan. Bagian tadi Bapak basa-basi.
Kau tahu hampir semua bocah pada jamannya, ingin memiliki cita-cita dimana 'aku tidak akan jadi seperti Bapak. Keluargaku akan lebih baik!' Aku tahu. Bapak juga sempat seperti itu dengan Dinasti Eyangmu saat itu. Tapi tidak berlanjut sampai Bapak mau lulus SMA. Keluarga yang Bapak idamkan saat itu tentu kedamaian antarkeluarga, kalau bisa yaa seharmonis keluarga Cemara, sekaya keluarga Cendana dan seeksis keluarga Cikeas.. Jika dilihat dari jaman buyutmu, Buyut mengharapkan anak yang banyak dengan harapan masa itu 'banyak anak, banyak rizki' saat itu lho ya, tapi.. Jaman eyangmu, sudah tidak seperti itu karena ekonomi negara kita semacam labil, apalagi Eyang Uti saat itu memutuskan untuklebih memilih momong daripada bekerja di luar kota.
Yang kusesali saat masa buyutmu, dimana 'banyak anak, banyak rizki' itu malah jadi senjata makan tuan. Semacam 'banyak anak, banyak masalah' memang bukan di masa Sang Raja masih menguasai Dinasti itu. Tapi ketika Sang Raja sudah digantikan oleh kekuasaan generasi dibawahnya. Lalu keadaan semua terpecah-belah dan BANG! Crash sana-sini, sekutu itu-ini. Semuanya saling pamer, semuanya saling memutuskan untuk mencari sekutu yang cocok, lalu dengan yang tidak sekutu main olok.
Tidak, Bapak sampai saat kejadian itu sudah tidak ingin lagi melihat sekutu-atau bukan. Persetan dengan semuanya. Sejak saat itu, Bapak ingin menggunakan nama yang Eyang Kakung berikan untuk menjadi nama marga kita. Kuharap kamu bisa meneruskan nama ini. Karena sejarah dan cerita kita yang tulis, bukan hanya diingat lalu lenyap pada generasi berikutnya."


Karena sejarah dan cerita kita yang tulis, bukan hanya diingat lalu lenyap.

Dialog Bapak dengan Anak, Dulu.

Bapak masih ingat aku pernah tanya tentang St. Virgil?
Nah aku juga sempat ingat dengan Virgil dan Dante di cerita Devil May Cry 3.
Apakah Virgil itu benar-benar nama orang kudus, atau ada kisah dengan menggunakan nama Virgil?

Satu lagi, Stephen Hawking pernah bilang "Tuhan tidak pernah ikut campur dengan pembuatan Tata Surya".
Kalo menurutku, itu cukup masuk akal. Beberapa minggu setelah kata-kata itu, Dia (Hawking) bicara lagi "Surga itu tidak ada! Surga hanya sebuah imajinasi di saat manusia hidup. Bagaimana manusia bisa berimajinasi lagi tentang surga? Sedangkan ketika manusia mati, otak manusia tidak lagi bekerja"

Nah, itu yang aku bingungkan. Apakah selama ini yang aku terima tentang keindahan-keindahan surga, kehebatan Tuhan itu cuma semata-mata doktrin dari Agama masing-masing?
dan jawaban Bapak saat itu ...

Santo Virgil tercatat dalam sejarah, juga ada peninggalan fisik berupa katedral, seperti yang Bapak kirim dulu. Ada tokoh bernama Dante yang menulis puisi epik berjudul Divine Comedy. Imaginasi penulis biasanya berangkat dari fakta dasar, tetapi bisa meliar sampai melewati batas akal dan membingungkan atau menyesatkan pembacanya. Kristen terus menyelidiki isi Injil. Sebagian sampai bahkan kehilangan keyakinannya semula, sebagian bisa menalar keyakinannya, sebagian lain beralasan bahwa Iman tidak bisa di-Nalar dan tetap bisa menerima "keterbatasan" Injil. Konsep Trinitas (Satu Allah, Tiga Pribadi), misalnya, bagi psikologi modern adalah Schizophrenia (salah satu bentuk masalah jiwa yang sering dianggap sama seperti kegilaan.)

Hawking adalah ahli fisika terkenal, begitu juga Einstein. Mengapa dua tokoh pemikir besar bidang studi yang sama bisa berpendapat berbeda? (Lihat kembali file mengenai perdebatan Einstein dan dosennya di MIT.) Tuhan Bapa yang tidak teridentifikasi, kita kenali dalam kehadiran Yesus (lihat bacaan misa Kenaikan Isa Al Masih.) Dan Allah Putra itu sudah mengingatkan bahwa kehadirannya akan menyebabkan pertentangan. Percaya/ Tidak Percaya akan keberadaan Tuhan, menurutku, adalah bentuk yang tidak spesifik dari pertentangan Percaya/ Tidak Percaya kepada Kristus.

Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk percaya, melainkan membuka peluang bagi manusia untuk menggunakan akalnya guna menerima atau menolak Dia, dengan konsekuensi Surga/ Neraka yang kehadirannya pasti ditolak oleh yang menolak Tuhan. Carl Gustav Jung, tokoh psikoanalisis selain Sigmund Freud, menjawab "I know God exists," ketika ditanya apakah dia percaya kepada Tuhan. Perhatikan jawabannya! "I know/ Saya tahu", bukan "Ya, saya percaya," atau "Tidak, saya tidak percaya." (Padahal psikoanalisis, terutama Freud, cenderung menitikberatkan permasalahan manusia pada bawah sadar/ subconscious.) Masalahnya, Jung pernah mengalami sendiri out-of-body experience, dan pengalaman batin itu mendasari jawabannya di atas.

Kalau diperpanjang, terkait konsekuensi menerima/ menolak Tuhan, terutama pada saat kita tidak yakin akan keberadaan Tuhan, adalah memanfaatkan "kemungkinan." Buatlah matriks Sekarang percaya/ tidak percaya, dan Ternyata Tuhan Ada/ Tidak Ada.

(1) Sekarang tidak percaya dan ternyata Tuhan tidak ada berarti tidak rugi juga tidak untung.
(2) Sekarang tidak percaya dan ternyata Tuhan Ada, berarti Neraka (rugi).
(3) Sekarang percaya dan ternyata Tuhan Ada, berarti Surga (untung).
(4) Sekarang percaya dan ternyata Tuhan tidak ada, berarti tidak untung juga tidak rugi (karena kamu percaya!)

Setidaknya itu yang kuingat pembicaraan dengan Bapak saat aku berumur jagung itu. Saat itu, aku sudah termakan dengan fakta-fakta dimana aku sulit untuk memikirkan Tuhan, dimana aku sudah memilih untuk jarang ke Gereja dan lebih penting istirahat di kamar, karena kehidupan saat itu membuatku pening, dan itu sangat penting!

Cinta Nyawa pada Hampa

"Aku mencintaimu!"
teriaknya pada Hampa

Hanyalah isak tangis yang Nyawa bisa berikan
Dikarenakan Hampa hendak pergi
meninggalkan pujaan hati
Nyawa namanya.

"Sudahlah.."
Dekap Hampa.
Hangat pelukan Hampa membuat kekasihnya menggigil.
Tetesan isak tangis Nyawa membuat dirinya mencair.

"Kita akan berjumpa lagi."
Nyawa meyakinkan
"Minggu depan?"
tanyanya
"Waktu itu pembatas. Lupakan tentang batasan waktu."
ujar Hampa.

Malam itu,
berpisahlah Hampa dengan Nyawa.