Resolusi Sampah!

Akhir cerita duaribu tigabelas, lahir kisah duaribu empatbelas.

Sejatinya aku ingin membubuhkan judul itu. Ya karena efisiensi tempat, demi ke-wangun-an blog ini. Berhubung dini hari hinggap, dan saya masih sadar, internet pun masih menyala, soundcloud Payung Teduh masih berkumandang, ada baiknya blog pun mengerti apa yang sedang tuannya rasa.

Jam melambat,
mencoba untuk membuat
pertemuan antara kenangan dan realita.

Mengingatkan akan kesiapan hati,
menyambut tahun yang di nanti.
Perjuangan ke depan akan
semakin berat, oh kawan..

"Resolusi di tahun yang baru: Membahagiakan orang tua."
via Twitter for gadgetpekoksingseringkowedewakan

Bagaimana mau membahagiakan,
kalau bisanya menghabiskan
uang orang tua yang sudah diikhlaskan?

Resolusi macam tahi!

Dan untuk tahun ini cukup resolusi bagi saya. Apa yang saya resolusikan tahun ini dari tahun kemarin pun tak kuingat. Apa pun itu, kuyakin saya tak pernah total. Tapi aku akan selalu mendoakan. Setidaknya mendoakan kesehatan orangtua ku. Ya, sampai mereka mengerti anaknya sukses. Atau yang paling kutakutkan, menyaksikan anaknya menjadi bajingan. Kalau bisa, aku kan menggadaikan nyawa ini sekalaunya untuk mereka. Hidup mereka terlalu berguna bagi sesama. Sedangkan anaknya? Masih egois, hedonis, tahu petis.

Tapi namanya perjuangan untuk indah di depan. Bahagialah, sudahilah sedihmu yang belum sudah~ Ini bukan resolusi. Ini komitmen, bukan resolusi. Menurut KBBI, definisi resolusi adalah, putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah,sidang); pernyataan tertulisbiasanya berisi tuntutan tt suatu halya saya backlight, agar anda yang membaca mencermati. Resolusi adalah kebulatan pendapat berupa permintaan maupun tuntutan. Tuntutan? Terkesan memaksa ya? Coba bandingkan dengan komitmen. Menurut KBBI, definisi komitmen adalah, perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; Lihat? Komitmen merupakan keterikatan untuk melakukan sesuatu.

Coba perhatikan kalimat-kalimat berikut.
Resolusi tahun 2014 untukku, bisa membahagiakan orangtua ku!
Sedangkan, lain hal dengan kalimat ini:
Aku berkomitmen agar bisa membahagiakan orangtua ku.
Sama arti, sama makna, ya? Tetapi artinya beda. Di satu, kamu menuntut dirimu sendiri untuk membahagiakan orangtua mu. Ya kan? Jika kamu menuntut, biasanya kamu akan terbebani. Beban itu akan menakuti. Lalu kita takut dan mulai melupakan, walaupun teringat sebersit, sama saja kita tetap terbebani.
Di lain kalimat, kamu mengikat dirimu untuk membahagiakan orangtuamu. SETIDAKNYA AKU MEMBAHAGIAKAN ORANGTUA KU DULU, bagaimana pun caranya.

Bahahaha, sudah semacam Mario Teguh ya? Taik haha. Jangan pernah termakan mentah-mentah oleh apa yang anda baca, dengar, maupun lihat. Yang pasti, cobalah buka mata, hati dan telinga.

Berbahagialah, nikmatilah, lalu sadarilah.

Meja tabu, 31 Des' 2013. 12.47 AM

Pengecut

Kesederhanaan Hedonis

Karena sejatinya
arti natal adalah kesederhanaan,
wahai kaum hedonis!

Karena sejatinya
natal adalah kebersamaan,
wahai individualis!

Bukannya,
kebersamaan dalam kesederhanaan
pun?

Ya apa mau dikata?
Sudah terlanjur tenggelam
dalam muara

Natal malam, dengan Pep dan Eleanor

Pengecut.

Buai Fantastika

Saya sudah jenuh hidup (lagi). Ketika hari-hari diawali dengan sistem/rutinitas yang diciptakan oleh menteri pendidikan yang tidak akan pernah jelas, lalu diakhiri dengan ujian akhir semester yang tidak akan habis. Pantaskah kami--kita hidup? Tersentak, aku langsung mengingat ketikan puisi lama tentang mati. Sudahlah..

Sebelum melakukan tes akhir semester, aku juga menyempatkan pergi sejenak ke Ganjuran. Ya, rumah Tuhan, katanya. Tapi bagaimanapun Rumah Tuhan kan masih sebagai sarana untuk bertemu dengan Tuhan kan? Aku bercerita kepada tiga lelaki yang kutemani saat itu.

Entah kenapa aku teringat dialog di suatu film.
"Hey bung! Seharusnya kau membantu kami! Kenapa kau malah sibuk dengan benda-sialan-agama mu?"
"Terkadang kita memerlukannya. Tapi setidaknya percayalah. Kepercayaan menyatukan kita, sedangkan agama memecah-belah kita.
Dan aku masih juga berusaha menerima Tuhan sebagai Tuhan yang satu. Ya Tuhan bagi kau, aku, dan dia. Aku ingin menerima Tuhan Yesus, Nabi Muhammad, Buddha Gautama, Dewa Syiwa, dan lainnya sebagai Allah yang satu. Satu dan kuharap menyatukan kita semua.
Umpat saya konyol, tapi mungkin ada arti kata Agama. A dan Gama. Sebut saja begitu. A artinya tidak, dan Gama bisa jadi: perjalanan (aku menemukan arti kata itu dari website nama bayi). Tapi mungkin bodoh juga kalau arti agama itu bukan perjalanan. Atau Agama artinya kadal? Entahlah..


Sabtu, empatbelas Desember duaribu tigabelas.

Brama mengajak (kesekian kalinya) menghadiri konser dari festivalist. Begitu anehnya diriku atau memang tempat ini terkesan bukan jagad ku? Aku berpakaian seadanya seperti diriku biasanya. Sandal, celana 3/4 kedodoran, kaos dan cardigan yang menimbulkan kesan gay--kata kiky. Rambut gondrong kehujanan, hidung merah terkena flu, wajah tua tak terurus. Sedangkan pengunjung lain hadir dengan rambut klimis, wajah bungah, jeans skinny, sepatu converse, baju--bukan kaos--band-sampai flanel pun ada. Astaga, aku salah kostum. Pikirku saat itu. Tapi terserahlah, mau dikata apa, tubuhnya sudah terlanjur di sini.

Pernah mengetahui aku jatuh cinta dengan pemain biola? Biola atau violin entahlah, aku tidak peduli, yang penting sama-sama alat gesek. Aku berusaha memperjuangkannya, tapi ya... Ya namanya.. Ya namanya bukan mau membahas ini, ya maka sudahilah. Kebetulan band pembuka saat itu mengkolaborasikan tiga alat gesek dengan satu set band: drum, gitar, bass, keyboard. Lalu sejenak aku terkepak. Aku memikirkan penggesek itu. Sudah berapa ekor kuda yang di eksploitasi untuk dijadikan penggesek itu? Tauklah..

Setelah menanti begitu lama, puncak acara pun datang. Semula pengunjung yang membuatku minder, ternyata tampak aslinya. Gondes. Mereka terikat dengan gengsi, style masa kini yang macam tahi. Kalau rambut tidak klimis, kalau jeans bukan skinny, kalau sepatubukanconversedanlainsebagainyayangmacamtahi, ah biarlah.. Mereka cuma makhluk-makhluk nista yang cuma tahu gaya, termuntahi oleh buaian fantastika. Terkekang dan belum memahami arti kebebasan sejatinya. Baik adanya datang dengan seadanya, bukan se-apa-nya. Bukan se-tahu-nya, melainkan semaunya. Katanya generasi Go Ahead? Ya, generasi yang cuma go ahead kalau moshing, go ahead di jalan, dan go ahead kalau kroyokan.

Ya, saya malu. Dan saya cukup tahu. Mungkin itu semua juga menjadi salah satu faktor ingin sirna dari dunia sedari dulu.

Kepada Rembulan dan Semesta

Malam demi malam berlalu. Bisakah kau membayangkan, ketika orang yang kita cintai--terlebih sama-sama mencinta--pergi meninggalkan kita demi cita-cita yang sudah lama ia damba. Sebut saja aku manusia galau. Itu labelling yang kuterima dari mereka.
"Etnis?"
"Bukan."
"Restu?"
"Bukan."
"Masalah sepele?"
"Tidak."
"Berarti masalah besar?"
"Bisa jadi."
"Lalu apa dong?"
"Cita-cita."
Setidaknya aku masih memiliki beberapa teman cerewet yang selalu menghebohkan malam senyapku ini. Aku tidak pernah merokok, apalagi minum alkohol. Pesta? Dari sudut pandang mana dulu kau mengatakan pesta? Teman-temanku selalu mengajakku 'berpesta' dan yang paling penting, aku tidak senakal yang kalian pikir. Aku lugu.

Malam ini tidak beda dengan beberapa malam sabtu lainnya. Ketika aku mendongak ke atas dan Rembulan menyapaku, lalu menertawakanku dengan sinis. Tak masalah. Aku tetap suka dengan keindahan Rembulan. Dialah satu-satunya saksi yang melihat ketika hubungan kami diselesaikan dengan penuh kebingungan melanda hatiku. Dilemma, istilahnya. Banyak orang mengatakan Rembulan sekedar saksi bisu. Belum tentu. Bisa saja Rembulan mengatakannya pada Matahari? Atau bahkan Bintang? Atau malah kepada Galaksi? Biarkan mereka semua tahu ceritaku ini. Ketika cerita ini selalu menjadi bagian dan barang bukti dimana aku masih mencintai dirinya.


Minggu lalu aku sekilas melihatnya. Ya, aku tidak terlalu tertarik kala itu. Cuma sekadar cinta-cinta kecoa saja, yang cuma lewat sliwer lalu sudah.. Bisa jadi dia memang cocok untukku? Ah sudahlah, biarlah waktu yang mengatakannya.

Kami bertemu di pekerjaan kami. Kami berbeda divisi dan tentu saja kami dipertemukan saat rapat seluruh divisi. Memang divisi ku paling kumuh, dibanding divisinya yang dipenuhi makhluk-makhluk Firdaus. Divisiku memang berisikan lelaki-lelaki yang cuma bekerja dikejar waktu. Kalau ada perempuan, toh mereka bermuka kumal dan layak disebut pembantu. Ya muka-muka di divisi kami menjijikkan. Tidak perlu setelan jas yang mewah, kami cukup berpakaian seadanya. Dan yang paling penting, niat.
Banyak orang-orang meremehkanku dalam mendapatkannya.Terutama teman dekatku
"Sialan bener kamu! Kamu sudah punya kekasih! Toh masih saja mau yang lain!"
"Kalau Semesta mengijinkan? Kenapa tidak?"
"At least, kamu harus jaga hati orang! Bagaimana kalau mereka terluka?"
"Tujuan kan perlu pengorbanan di awal?"
"Anjing! Masa bodo terserah elu!"
"Sudah.. Biar waktu dan semesta yang membuktikannya."
Aku selalu memuja untuk orang yang menemukan kalimat Biarlah anjing mengonggong. Biarkan orang lain terus menceramahi kita, lalu kita tunjukkan apa yang kita perjuangkan.

Di satu waktu, kami berada di kesunyian. Mata kami bertemu saat itu. Senyum manisnya meluluhkan hati ku yang beku.

Aku memiliki banyak pengalaman perihal relasi. Terlebih tentang orang-orang yang kuincar menjadi kekasih. Begini kisahnya setelah aku meruntut:
Hubungan awalku berlangsung sekedar pelampiasan nafsu antar individu. Hubungan yang tidak baik pun akhirnya purna. Setelah itu, aku benar-benar dibuat jatuh cinta. Kami saling mencinta. Kami putus sementara waktu, karena memang tidak bisa bertemu. Karena kami saling cinta, semesta mempekenankan kami kembali bersatu. Lalu lanjut-berlanjut menjadi sebuah siklus yang sama intinya. Hubungan nafsu >> hubungan cinta >> nafsu >> cinta >> dan begitu seterusnya.
Dan sekarang, dia benar-benar membuatku tertarik. Sa. Ngat. Ter. Ta. Rik. Bisa di bilang panah asmara telah tertancap. Aku akan memperjuangkannya. Biar nanti Semesta yang menjawab.


Humoris lah tipe orang yang sedang banyak dicari gadis-gadis masa kini. Terutama diriku. Dibandingkan dengan pria pendiam berbadan kekar, yang cuma bermodal kaos ketat untuk menunjukkan otot-otot steroidnya itu. Paling tidak, lelaki tipe humoris bisa untuk mengusir kepenatan, tekanan, dan segala macam jahanam yang merusak pribadi kita perlahan-lahan.

Dia humoris. Tingkahnya di kantor kami selalu saja membuat decak tawa bagi kami semua. Di saat yang lain melipat-lipat mukanya, dia sendiri mencoba melengkungkan bibirnya di tengah kondisi yang tidak mungkin untuk tersenyum. Karena sebenarnya senyuman orang bisa saja membuat orang lain tersenyum juga..
"Dia tersenyum.."
"Kamu suka?"
"____ ."
"Hey! Kamu suka dia?
"Ah? Ah, enggak."
"Hasyah itu lho muka mu merah!"
"Hah? Apaan sih.."
Bisa jadi aku memang tertarik dengannya? Aku suka cara dia menjaga mood orang. Raut mukanya lucu. Lucu tapi menyenangkan! Aku suka cara dia tersenyum di setiap saat. Dia cerdas, pintar mengatur suasana. Bisa saja.. Mungkin saja.. Tapi.. Eh? Kenapa jantungku berdegup?


Bilang saja aku ini lelaki nista. Kau bisa tahu dari analogi ini:
Ada seorang pemancing yang sudah menangkap ikan Kakap di genggamannya. Saat itu juga, kail pancingnya yang lain bergerak. Tarikan itu ternyata dari Gurameh, ikan yang membuat nafsu makannya melunjak saat itu. Karena wadah hanya satu, terpaksa Kakap pun dilepas demi mendapatkan Gurameh. Pemancing sudah yakin mendapatkan, tetapi Gurameh cuma bercanda. Gurameh pun pergi meninggalkan kail. Alhasil semua ikan pun lepas, dan dia kelaparan.
Hina nista kan diri ini?

Ya, kami berdua sudah mengumpulkan niat untuk memulai sebuah percakapan saat bertemu. Setidaknya aku sudah begitu banyak tahu tentangnya, terlebih tentang 'Rembulan'-nya. Bodohnya, hubungan ini terlalu didukung banyak orang. Teman-teman di divisinya terus memberinya dukungan. Begitu juga teman-temanku yang sudah setuju. Hubungan yang tidak alami, tidak akan terjadi.
Aku terlalu yakin mendapatkannya, dan di tengah perjuangan.. Dia termenung di suatu malam dan menatap langit. Rembulan tertawa sinis padanya.

Ternyata, itu jawaban Semesta.