Malam terlalu Pagi

Malam bertambah malam. Pagi terlalu pagi.

Karena sejatinya pikiran kita kala dini hari adalah pikiran yang tak terhentikan. Liar, brutal, beringas. Torehkan apa yang ingin dikeluarkan oleh kalian. Lawan semua rasa ngantuk. Berbahagialah dalam ketersiksaan. Kamu tidak bermimpi, kamu ingin menuliskan mimpimu.

Cintailah dini hari!

Orang kecil berbahagialah dalam ketiadaan.

Ketertarikanku akhir-akhir pada bio twitter yang ku tulis. Aku menyukai kata-kata itu. "Orang kecil kembalilah dalam ketiadaan." Kata-kata Soe dalam menit-menit terakhir menuju kredit di film GIE. Soe Hok Gie, pemikirannya beringas di awal, benar di perjalanan, miris di akhir. Itu yang kurasakan dalam perjalanan film itu.

Posisi yang tepat di mata khalayak umum adalah puncak apalagi sentral. Berbeda dengan pandangan orang umum. Posisi paling cocok untukku adalah bawah ataupun tepi. Di sana kutemukan bahwa sejatinya aku tercipta (entah) untuk posisi itu atau di posisi tersebut.

Beberapa orang tidak bisa memimpin, tapi beberapa orang lebih bisa mempengaruhi. Suatu kebetulan apabila aku tidak pernah menjadi posisi sentral. Kala itu aku bisa saja menjadi anggota OSIS, wali kelas tidak merekomendasi. Lain waktu aku bisa saja menjadi ketua kelas, kebetulan wali kelas lebih memilih menjadi sie kebersihan. Beberapa saat mereka mendukungku dalam suatu pekerjaan. Ya aku sanggupi tapi tidak maksimal, karena saat itu pula aku mulai menyukai individualis dalam pekerjaan (yang aku bisa). Tidak semua kuiyakan. Lalu beberapa kesempatan aku menepi. Kebetulan juga aku bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu kelompok, dan kala itu aku belum menyadari posisi favoritku: tepi.

Tapi kalau kebetulan itu terlalu banyak dan kebetulan-kebetulan itu saling berkaitan, apakah kebetulan itu kebetulan? Atau lebih ke suatu yang sudah ditorehkan oleh Hyang Suci?

Sifat dasar manusia generasi ini adalah cari nyaman. Begitu pula denganku. Tapi beberapa orang pula cari enak. Enak, berbeda dengan nyaman. Enak, ketika kau mendapat posisi yang memberimu sentral dalam segala hal, tapi terancam dalam memutuskan. Nyaman, apabila kau memiliki posisi yang membuatmu leluasa dalam segala hal, tapi selalu menerima resiko di atas.

Enak itu orang-orang atas.
Nyaman itu orang-orang bawah.

Enak itu Goliath.
Nyaman itu Daud.

Mereka--kami. Aku senang apabila pikiran-pikiranku ini bisa menghibur mereka yang di atas, apalagi bisa mempengaruhi keputusan di atas. Pernah ku berbicara saat pelatihan Pasus (Pasukan Khusus) kala itu aku ditanyai akan jadi apa dalam sebuah organisasi. Wakil ketua, jawabku. Dan aku baru menyadari arti itu.

How does it feel
with no direction home
like a complete unknown,
like a rolling stone?

Lirik dari Bob Dylan pun juga menyentil telingaku. Seperti anon yang komplit. Seperti batu yang berguling. Ya kan? Yang kusukai dari anon adalah peka, di satu sisi orang yang tidak peka tak akan tahu jika kalimat yang dilontarkan untuknya adalah nyinyir atau tidak.

-Pengecut

Ret-Ret


Mencari kesejatian diri. Itulah yang mereka cari. Mulai dari orang-orang beragama, orang-orang bertuhan, bahkan sampai orang kafir pun sebenarnya mencari kesejatian diri. Budha, Muslim, Katolik pun mencari! Masalahnya, apa benar kita dapat menerima dengan lapang dada ketika sudah mengetahui diri kita yang sejati? Meditasi, kontemplasi, ketahui lalu syukuri. Setidaknya itu tahap-tahap untuk mengenal, karena diri kita yang bertopeng ini terkadang tidak suka dengan diri kita yang utuh.


Pengalaman retret di bangku pelajar berseragam tingkat akhir ini lebih menarik daripada masa SMP bahkan SD yang notabene tidak terlalu menemukan hasil yang sebenarnya kita cari. Terlalu banyak dinamika bergerak, kumpul-kumpul dengan teman. Kata Romo Guido, SJ itu adalah rekoleksi. Rekoleksi biasanya digunakan untuk keakraban, kata beliau. Sedangkan retret diambil dari kata re dan tret (bukan ret2; ret-ret; macam kereta aja main seret-seret). Re itu artinya kembali sedangkan tret adalah menarik. Jadi kita diminta sejenak menarik kembali, mengetahui kembali, menyadari kembali apa yang sudah kita lakukan. Misal, kita punya teman dekat. Teman kita ini salah, lalu di olok-olok yang lain. Insting sebagai teman, pasti kita akan membelanya. Lebih baik kita retret sejenak, lalu mengambil keputusan yang tepat. Boleh-boleh saja kita membela teman kita, tapi kita harus mengingatkannya. Ya? Ngerti?
Dalam retret kali ini Romo Guido, SJ sebagai pembimbing memberikan respek maka dari itu kelompok kami lebih anteng—disiplin (menurut saya dan beberapa teman) daripada kelompok di rumah retret lainnya. Romo Guido mengajak kita berdinamika dengan tingkatan berbeda. Bukan dengan tingkatan SMA tetapi kami diajak dengan retret frater. Menurut saya, dinamika yang ditekankan adalah cara meditasi. Tingkatan pertama adalah meditasi patung. Disana kita dibimbing untuk bertemu dengan pematung untuk membuatkan karya yang sama dengan kita apa adanya, bukan ada apanya. Kebetulan patung yang kutemukan dalam meditasi adalah diriku yang angkuh, sok-sokan dan cenderung agresif. Tapi apa benar itu diriku yang utuh? Coba baca kembali paragraf pertama. Kalian belum mengerti kalau tidak ingat. Lalu Romo Guido menjelaskan pematung itu sebenarnya adalah Tuhan. Dan sosok patung itu adalah dirimu yang apa adanya. Lalu kita diminta membuat perisai diri, dimana penuh dengan sifat-sifat maupun potensi positif/negatif dan diri apa yang kita inginkan sebenarnya. Masih ada waktu untuk berubah.

Tingkat kedua, meditasi kematian. Entah kenapa saya tidak terlalu fokus saat meditasi ini, maka dari itu saya tidak terlalu dalam dengan kejelasan dari meditasi ini. Kami diminta untuk bermeditasi, datang ke sebuah acara lelayu, melihat siapa jasadnya—biasanya teman-teman lain membayangkan adalah janazah orang yang dikasihi; sebab itu banyak yang menangis bahkan shock—yang ada di dalam peti. Ternyata jasad dalam peti adalah diri sendiri, dan itu membuat mereka semakin shock. Skenario meditasiku berbeda. Entah kenapa jasadku masih usia 25-an, sedang tersenyum ejek. Seolah mati muda itu ringan. Lalu datang dua teman yang mengatakan “Akhire nis, cita-citamu.” Senyuman di jasad itu menjadi ejek-bangga. Dan setelah saya refleksikan, mungkin diri saya salah satu dari banyak orang yang tidak takut terhadap kematian. Atau salah satu dari sekian banyak orang yang belum mengerti betapa sedihnya kematian. Tapi bagiku kematian adalah keabadian, bukan penyesalan. Ketika kami bertemu Tuhan disana, kami ditawari untuk hidup sekali lagi. Banyak teman yang melankolis, sedangkan saya malah menolak tawaran itu.

Tingkat ketiga yaitu meditasi kontemplasi. Di tingkat ini kami diajak membaca perikop dalam kitab suci lalu memeditasikannya. Kontemplasi itu ketika kita disana mencoba berjumpa dengan Allah lalu berbincang dan mendapatkan apa yang Beliau ajarkan dalam perikop tersebut.
Menjadi manusia yang pure—sejati memang susah. Yang paling susah adalah mendorong kita untuk menerima apa adanya. Kemudian berlanjut untuk mencoba menjadi manusia yang lebih baik. Adalah dirimu sendiri yang mengerti kondisi saat itu. Tapi ketika doa dilakukan tanpa sebuah usaha, akan menjadi sia-sia saja pada akhirnya. Kemauan kembali pada diri kita sendiri.
AMDG,

Pengecut