Kesatuan di antara Perpecahan

Untuk melakukan judul itu sesungguhnya banyak cara. Tapi untukku, aku pikir tidak akan melakukannya untuk jangka pendek. Jangka panjang menurutku lebih bagus.

Pernahkah kamu iseng mencari tahu tentang berbagai orang kudus di agama mu? Aku sering. Sampai-sampai aku banyak diejek, dihujat bahwa orang kudus yang kutemukan itu adalah orang kudus gereja iblis, aliran sesat. Tapi biarlah kalau mereka tidak tahu.

Jangka panjang yang kupikirkan adalah: memberi nama kepada calon anak. Aku menemukan dua Santo dari timur-tengah. St. Nimatullah Youssef Kassab Al-Hardini dan St. Charbel Makhlouf muridnya (dimana aku memakai namanya untuk panggilanku Syarbel). Nama Nimatullah di Indonesia lebih dikenal seperti nama muslim, padahal dia adalah orang kudus Kristiani dari timur-tengah. Nah, itulah yang kusebut kesatuan di antara perpecahan. Dengan angan-angan yang tinggi, dia bisa meneladani dan menjadi teladan keberagaman di negara ini.

Amin.





Lampiran:

St. Nimatullah's miracle: http://www.pondokrenungan.com/forum/viewtopic.php?f=4&t=2335

St. Charbel's miracle:


Tawa Soeharto

Kau harus tahu seberapa menakutkannya suatu tawa.
Kala itu tawa The Smiling General: Haha~ tanpa suatu yang aneh, lalu beberapa perusahaan pailit, orang-orang berkesusahan. Di lain waktu: Hahahahaha~ dengan mata sipit natural pada kalanya orang senang. Lalu beberapa perusahaan terlancarkan, sukses, dan orang-orang elite semakin besar.

Dan sampai sekarang masih beberapa orang yang tahu dan takut kala aku tertawa. Tentu saja, apa kalian pernah melihat aku marah? Tawa lebih baik. Tapi seribu tawa juga seribu arti. Tawa ku bisa saja: tawa iri, tawa cemburu, tawa senang, tawa tidak suka, tawa bahagia, tawa hina, tawa ... ? Ya, tawa.

Camkan.

-teringat artikel tentang tawa alm. Soeharto

Siklus Cacing

Lihatlah diriku. Semakin buruk saja. Ketika aku kecil aku dekat dengan keluarga dan orangtua. Lama-kelamaan semuanya hilang ketika memasuki masa bernama ABG (anak baru gede), aku tidak menyukai untuk dekat dan terlalu dekat dengan orangtua bahkan keluarga. Lucu sekali. Bahkan aku tidak tahu mengapa aku begitu.

Masa ABG aku lebih dekat dengan teman-teman. Tidak, bukan sahabat. Aku sepertinya tidak punya sahabat. Lihat masa-masa itu. Bahkan aku orang yang tidak bisa apa-apa tanpa teman. Pengecut lahir.

Lalu melanjutkan studi di luar kota. Aku sendiri, tapi masih dalam masa sebelumnya. Tak berkutik tanpa teman-temanku. Tahun kedua di luar kota mulai muncul masa baru. Pudar sudah. Sendiri, kesendirian, tanpa siapapun. Aku beberapa kali lebih suka dengan masa ini. Antara dijauhi atau sebaliknya? Aku yang menjauhi kah? Ingat saja perbedaannya. Aku lebih cuek setelah di luar kota dibanding ketika aku di kota asal. Banyak yang bilang begitu.

Apa yang aneh? Kenapa bisa berubah? Seperti siklus cacing, dari panjang lalu terpotong-potong. Tapi masih ada kemungkinan memanjang lagi.
Aku harap ini cuma siklus.. Aku harap..

Adil, Sibuk, dan Rasi Bintang.

Banyak waktu yang kuhabiskan di tempat tidur menanti sebuah kepastian akan dolan atau tidaknya diriku setiap hari. Karena sejatinya ketika sudah janjian untuk pergi, pada hari itu juga aku yakin aku tidak akan pergi. Satu pihak membatalkan. Lama-kelamaan terlihat siapa yang menjauh dan siapa yang sendiri. Kesendirian memang selalu membuat pilu, iri dan cemburu. Tapi apa gunanya? Kalau saja aku terus-terusan cemburu dengan kesibukan orang lain, lalu apa yang kudapat? Justru dengan kesendirian itu aku mengambil hal positifnya: aku diberi cukup banyak waktu untuk refleksi, pengenalan diri, dan semacam menangisi diri sendiri. Lumrah saja kalau akhir-akhir ini kau menemukanku tertawa, marah, dan berbicara dengan diri sendiri.

Katakan saja aku satu pikiran dengan Soeharto yang beralasan saat itu, saat dimana ketakutan akan komunis semakin luas. Dengan alasan-nya, seorang komunis dengan kesibukannya lama-lama akan mengalami keadaan yang namanya Alienasi. Tapi aku berpikir, dengan kesibukan; orang-orang yang mencintai kesibukan lama-lama akan membuat Alienasi dengan orang lain, namun lebih umum: keterasingan. Gampangnya, seorang suami yang sibuk bekerja, bahkan cinta akan pekerjaannya, keluarganya akan di-Alienasi-kan olehnya. Dan orang yang gila sibuk itu belum tentu sadar akan orang-orang yang merasakan pahitnya keterasingan. Matanya, rasanya, jiwanya akan tertutup. Bahkan kalimat-kalimat sarkas dan sindiran pun tidak membuatnya menyadari apa yang telah ia lakukan.

Biasanya orang yang sendirian itu terlihat kecil. Tanpa dukungan apapun, tanpa teman siapapun, tanpa kekuasaan kapanpun. Justru itu dengan kondisi kami sebagai makhluk kecil:

Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaan.
Soe Hok Gie

Kesendirian tidak selamanya pilu. Kesendirian justru membuka mata lebih lebar. Ada satu quotes oleh orang yang mati oleh kesendirian dan keterasingan.
Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.
Bung Karno, 1933


Ada suatu waktu aku termenung di kamar mandi, berjongkok dan menahan nafas untuk mengeluarkan tahi. Lalu aku berpikir tentang yang namanya keadilan, tentang warisan; harta peninggalan. Aku mengkondisikan aku sebagai seorang kakek yang memiliki lima anak: lelaki sulung dan bungsu; tiga perempuan, dan kelima anak ini sudah berkeluarga. Aku memiliki 250 juta harta warisan dan aku ingin membagi untuk kelima anakku. Mungkin di mata anak-anakku yang namanya keadilan adalah ketika aku membagi 250 juta ini dengan rata, jadi masing-masing anak mendapatkan 50 juta yang sama tanpa perbedaan satupun.

Tapi kondisi yang benar di mata seorang kakek bijaksana adalah mengetahui kondisi anak-anaknya dulu. Apakah layak membagi rata harta warisannya? Dari kelima anak sejatinya ada satu anak perempuan yang berbeda dibanding empat saudara lainnya. Ketika empat saudara lainnya sudah memikirkan hari-hari pensiunnya dan masih sempat berlibur ke luar negri, satu anak perempuan ini masih sibuk bekerja sosial mungkin tanpa bayaran uang tapi dengan bayaran kepercayaan. Disamping itu pekerjaan kecil-kecil itu untuk membuatnya lupa sekejap akan tanggungjawab membiayai anaknya.

Lalu aku teringat satu teori keadilan yang dijelaskan saat pembelajaran masa SMA itu, pak Maryono yang mengatakan.

Suatu keadilan adalah saat kita membagi sesuai porsinya. Mungkin lebih pantas aku (sebagai kakek) membagi 30juta kepada empat anaknya yang sudah lebih dari cukup. Sisanya? Seratus tujuhpuluh juta akan kuberikan kepada anak perempuan khusus ini.





Sebuah rasi bintang, shio, dan garis tangan dianggap sebagai takdir yang sudah tertulis dan kita tinggal menjalani sisa hidup kita dengan patokan yang katanya sudah tertatahkan oleh alam.

Seperti lirik di lagu ini:



Sahabatmu, mungkin pernah bercerita
Tentang gelapnya hidupku
Dan bila kau percaya mereka
Kuharap kau.. kau memilahnya

Sahabatku, mungkin pernah bercerita
Tentang kerasnya hidupku
Dan bila kau tetap tak percaya
Biarkan aku membuktikannya

Reff:
Aku tak seperti yang kau bayangkan

Mungkin orang bisa saja terlihat riang dalam senyum di bibirnya, tapi siapa yang tahu kalau jauh di dalam senyum itu hanya tangisan? Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Kenyang dengan kisah hidupnya yang kelam, selalu saja ada orang yang ingin membalik garis tangannya. Sebenarnya sah-sah saja orang sadar lalu berusaha keluar dari kesusahan.

Orang yang ingin menantang rasi bintang biasanya dalam keterpurukan. Entah keterpurukan ekonomi, sosial, bahkan kehormatan. Coba lihat cerita-cerita orang terpuruk yang sukses? Latar belakang yang umum
  1. Keterpurukan ekonomi: dia bersumpah akan membuat keluarganya kelak akan makmur dan berbeda dengan keluarganya sekarang.
  2. Keterpurukan sosial: dia di bully, hina. Lalu dia ingin membalas dendam menjadi petinggi suatu jabatan dan akan menunjukkan bahwa dirinya tidak layak diperlakukan buruk di masa lalu.
  3. Keterpurukan kehormatan: karena suatu hal sepele keluarganya dipandang rendah dan diremehkan. Lalu dia ingin mengambil kehormatan keluarganya kembali.
Selalu itu-itu saja cerita yang terkenal. Tapi itu memang benar. Apakah kalian tidak sadar? Apakah kalian jarang merasakan kesindirian lalu tidak terbuka matamu? Semuanya itu sahih. Bahkan aku ingin mendapatkan lagi hak-hak yang sebenarnya layak kudapatkan. Lalu kutunjukkan kepada mereka semua yang angkuh dan sombong. Aku bukan dengki, tapi ini sikap orang terpuruk.
Ini adalah emosi melankoli.
Melankoli datang dari rasa tak memiliki.
 Marja
(Ayu Utami)

Trialog? Debat tentang Generasi.

Memiliki posisi atau jabatan yang layak itu sangat dicari-cari oleh orang. Kecuali orang itu memang terlahir sebagai bayi dalam keluarga terpandang. Misal saja aku lahir dengan nama Soekarnoputra, Soeharto ataupun Bakrie di nama belakangku sudah pasti aku mendapat tempat di negara ini.

Gusti dan aku suka membahas tentang suatu permasalahan, lalu mencari titik salahnya dan kalau bisa kami tarik kesimpulan. Pernah suatu waktu permasalahan yang kami bahas sudah kami tarik kesimpulan, tapi tetap saja tidak bisa terselesaikan. Lalu hampir satu minggu, Brama kebetulan juga diajak untuk berefleksi.

Permasalahannya tentang bagaimana seseorang bisa dipandang.

Awalnya Gusti hanya bercerita tentang nakalnya anak muda zaman sekarang. Berbeda dengan zaman dulu, Gusti berkata, saat kita (kami) masih bocah tolok ukur suatu kenakalan adalah saat dimana kita berkumpul dengan anak-anak begundal. Anak-anak merokok, pemabuk, tapi tidak menggunakan obat saat itu. Di mata orang tua, anaknya yang berkumpul dengan begundal-begundal seperti mereka akan dimarahi habis-habisan. Mereka takut dengan pergaulan yang aneh-aneh.

Lalu titik dimana semuanya jungkir balik, ndas nggo sikil; sikil nggo ndas semuanya berubah. Remaja-remaja zaman itu beberapa sudah menjadi orangtua dan mereka mulai bisa disebut dengan penganten baru, orangtua baru. Permasalahan saat ini berbeda. Rokok dan alkohol sudah biasa di mata orang tua, dengan alasan mereka juga pernah mengalami. Parahnya, dengan segala pemakluman itu, generasi setelahnya semakin rusak. Entah clubbing, free sex, cheat on partner itu sudah terkenal di generasi ini. Sayangnya, para orangtua yang masih muda itu kebanyakan ingin menempatkan dirinya sebagai teman bagi anak-anaknya. Maka tak jarang kita jumpai segala macam jenis selfie oleh Ibu dan anak gadisnya, misalnya. Sering pula kita jumpai segala macam tweet, status, atau personal messages yg tertulis: Happy Birthday Mom! Happy birthday dad! Lalu segala jenis ABG akan memberikan 'sok perhatian' pada para pelaku itu.

Menurutku, generasiku, teman-teman seusiaku merupakan angkatan titik balik dari jungkir baliknya zaman. Ampasnya, hampir semua adik-adik sudah biasa-biasa saja mengalami party, clubbing, dugem, mabuk, dan rokok. Teman-temanku saat seusia kalian (satu-dua tahun dibawah) masih tabu untuk terang-terangan mengaku bahwa sudah pernah merokok, mabuk, bahkan dugem yang paling tabu. Lah sekarang? Mengakulah.

Awalnya kami langsung berpikir itu mulai menjadi gengsi bagi mereka. Tapi Gusti mengatakan bahwa tidak sedangkal itu. Aku mengiya. Brama cenderung menjadi tokoh Bilung ataupun Bagong. Gusti mengatakan bahwa seseorang itu selalu ingin dipandang.


"Menurutmu, apa yang membuat lelaki diberi apresiasi, semacam respek?" Ga tau, jawabku. "Kalo menurutku Otot dan Otak." Benar-benar saja, aku mengiya. Siapa yang tidak akan menghormati Preman dengan tubuh kekar mengerikan? Siapa yang tidak menghormati seorang penemu seperti Einstein?

"Tapi ya nggak bisa kalo sesepele itu. Kalau cuma otot tapi dia goblok? Si A misalnya, dia kekar tapi setiap pelajaran selalu tidur. Lumrah saja kalau dia diolok-olok." Brama memberi pernyataan.

Nah! Justru itu harus Otot dan Otak, sahutku. Si B badannya bagus dan dia pintar. Siapa yang mengejek dia?

"Tapi dia Cina!" sahut Bilung sambil terkekeh. "Ooh itungannya 'dosa asal' ?" tanya Gusti

Untung Tuhan menciptakan Adam dan Hawa bukan Cina, kataku. Lalu kami terkekeh bersama.


Kalau misal perempuan? Aku kira gengsi. Mungkin ada gadis yang gengsi dengan ini-itu. Aku facial, aku punya smartphone layar besar, aku rajin selfie, aku pernah clubbing, aku pernah mabuk, aku pernah ngrokok, aku pernah free sex (ekstrimnya), lalu sebagai perempuan yang lain tidak mau kalah. Lalu dengan cara-cara tabu bagi seorang perempuan itu mereka melakukannya semata-mata untuk gengsi dan dihargai.

Aku selalu berkata bahwa seorang pesimistis selalu memikirkan hal terburuk. Ya, aku melontarkan pernyataan ini:
Bagaimana kalau misal kau punya anak perempuan, lalu anak gadismu itu sebegitu nakalnya sampai-sampai kau tidak berani meladeninya?
Itu sempat terngiang-ngiang di kepala Gusti. Aku menjawab sendiri bahwa sejatinya aku tidak ingin memiliki anak perempuan. Toh kalau misalnya aku menikah. Lucu juga kami berpikiran terlalu jauh. Kekanak-kanakan? Tidak, kami futuristik.


Aku pernah mendengar seseorang membacakan tweet kurang lebih begini:
Di Indonesia, TK disodomi, SD ngeroyok temennya sampe mati, SMP bikin skandal video seksual, SMA tawuran. Oh indahnya negeri ini.