Bunyi yang Menggebu-gebu

Di saat partai politik ataupun organisasi aktivis saling mencari dan menonjolkan pemimpinnya yang menggebu-gebu, aku kenal seseorang.

Bunyi.
Nama gadis yang kukenal itu bernama Bunyi. Suatu nama yang indah tetapi tidak wajar menjadi sebuah nama. Tak masalah sih, kenapa tidak? Keluarganya berasal dari keluarga seniman. Ibunya penyanyi kafe di dekat stasiun kota, adiknya salah satu kontestan perlombaan menyanyi di televisi swasta. Ayahnya? Dalang. Keluarga itu amat-teramat-sangat terkenal di kota kami. Dusun ku, dusun yang amat pelosok pun sangat mengagungkan mereka. Terlebih ketika berpapasan di jalan raya dan melihat Volkswagen kodok dengan cat bunglon, kemudian mereka--kami akan terkagum-kagum dengan mereka. Para Lelaki akan berdecak kagum sedangkan perempuan tak henti untuk mengelu-elukannya. Sayangnya, Bunyi, oleh Ayahnya sendiri tidak di anggap. Kenapa? Karena dia bisu-tuli. Sungguh fakta yang membuat keluarga Dalang ternama ini ternodai karena ada salah satu anggota keluarganya yang tidak bisa mendengarkan nada dan tak bisa bernyanyi, bahkan untuk menggumamkan harmoni saja tidak indah.

*

Aku kenal dengan gadis ini baru-baru saja. Dia mengikuti salah satu pelatihan di pabrik tempatku berlatih. Bunyi memiliki paras yang sangat elok untuk ukuran seorang gadis. Tapi dengan keterbatasannya dia sering tidak terpilih dan diikutkan dalam acara-acara yang sebenarnya dia bisa ikuti. Dia memiliki IQ yang kurasa cukup untuk kukatakan dia jenius seperti BJ Habibie. Kejadian dia 'dihindari' ini sangat jelas terlihat ketika dia mendapat tugas untuk menjaga kamar alat. Inventaris istilahnya. Ketika karyawan (kulihat) sangat butuh untuk segera mengganti tool nya, mereka lalu memilih untuk tidak jadi mengganti, atau menunggu sampai petugas kamar alat yang asli (bukan trainee) datang lagi setelah dari kamar mandi. Kulihat Bunyi teramat geram dengan peristiwa itu. Lalu dia melakukan bimbingan konseling dengan Pater yang mengurus kebijakan dia dilatihkan. Blabla sampai akhirnya Bunyi tetap mau menjadi trainee di pabrik kami.

Sehabis aku dari toilet saat istirahat, seperti biasanya Bunyi selalu sendirian menunggu di bangku panjang depan kamar mandi. Menyandarkan kepalanya di meja, lalu seperti menggumamkan umpatan-umpatan. Pernah, bahkan sering aku berpikir begini:
  1. Apa umpatan tersendiri bagi kaum bisu? Apa ada, maksudku.
  2. Ketika ada kasus: tiga orang bisu-tuli, salah satunya dibenci, bagaimana cara mereka ngrasani?
  3. Yang terakhir, apakah orang bisu-tuli bisa saling membenci orang bisu-tuli?
Karena menurutku, mereka itu saling membutuhkan. Seperti orang-orang obesitas yang saling menjaga satu sama lain ketika mereka berlari. Bagaimanapun juga mereka berusaha untuk menghadirkan Simbiosis Mutualisme di hubungan mereka. Aku mengamati mereka. Aku sering mempelajari mereka. Karena sebenarnya mereka mampu, cuma terbatasi.

Setelah aku merasa kasihan dengan gadis secantik itu yang terbuang, aku memberanikan diri untuk berbincang-bincang dengannya. Berbahasa isyarat tepatnya. Aku coba memahami setiap kata yang diperagakan oleh bibirnya sama seperti ketika dia serius menatap mulutku yang komat-kamit tak henti-henti. Sembari ku fokuskan mata ku ke gerakan bibirnya aku bertanya,

"Apa kamu punya masalah di tempat ini?"
Iya, dan itu sangat mengganggu ku sekali.
"Seperti apa masalahnya?" Lalu dia bercerita panjang lebar mengenai semua masalahnya.
Ayahku adalah seorang Dalang. Kau tahu pekerjaan Dalang?
"Ya, dia bertugas untuk mengendalikan dan mengatur laju pewayangan"
Tepat sekali. Dia memiliki suara yang merdu, sehingga Ibu terkesima lalu memutuskan untuk bersama dengan Ayah. Lalu setelah berkeluarga, dan memiliki Aku, Ayah memutuskan untuk membuat keluarga nya adalah keluarga seni menyanyi. Tapi Aku, Bunyi, pada saat aku kecil, aku mengalami panas tinggi yang teramat panas. Amat panas, bahkan sampai dokter klinik pun bingung aku mau diberi apa atau diapakan. Kemudian aku berangsur-angsur sembuh dari panas itu. Lalu entah kenapa semenjak sembuh dari sakit, aku tidak bisa mengeluarkan suara.
"Iya juga! Aku punya tetangga yang menjadi gagu setelah panas tinggi."
Nah, tetanggamu itu masih beruntung karena dia masih bisa berinteraksi.
"Ya, bahkan dia masih bisa dan cukup lancar untuk menggumam di paduan suara." Tapi tiba-tiba Bunyi menangis.
Itulah permasalahannya!
Bunyi semakin diam tangisnya. Dan aku harus bertanggungjawab karena teman-teman karyawan melihatku di depan Bunyi, dan membuatnya menangis. Lalu kuajak dia melanjutkan rutinitas karena bel istirahat karyawan sudah 'mengiung' barusan dan berjanji untuk melanjutkan ceritanya nanti.

*

Aku mencoba menyusul Bunyi karena aku sudah berjanji untuk melanjutkan mendengar/mengamati cerita nya. Karena dia lebih dulu pulang, aku mencoba untuk bertanya dimana alamat kos nya. Setelah aku tahu dan ternyata cukup dekat dengan kos ku pula, aku langsung ke sana. Di perjalanan aku berpikir ternyata bisa juga orang yang bisu-tuli bersahabat dengan non-bisu-tuli. Mungkin aku saja yang terlalu membedakan mereka. Atau malah pengajaran di rumah dari kecil dan pendidikan yang memisahkan orang normal dan orang 'luar biasa' ke dua jenis sekolah yang berbeda? Ini salah siapa?

Sesampainya di kos Bunyi aku berusaha memanggilnya dari depan gerbang. Kuteriakkan namanya sampai dia keluar. Dan mungkin aku terlalu bodoh karena aku kelupaan dia gadis bisu-tuli. Tapi aku tetap berteriak memanggil, setidaknya sampai teman kos nya keluar. Aku menunggu dan ternyata ada gadis lain datang mengendarai motor, membuka gerbang, lalu dia memarkirkan motornya dan bertanya. "Ada apa ya, Mas?" Setelah kujelaskan bahwa aku mencari Bunyi, ternyata aku boleh-boleh saja langsung masuk untuk bertemu dengan Bunyi. Sayangnya, dia sedang tidak di kamar (setelah kuintip dari jendela). Kuputuskan untuk tetap memasuki kamarnya dan memutuskan menunggu di dalam, siapa tahu dia sedang di kamar mandi.

Kamarnya cenderung berantakan dibandingkan kamar gadis lain. Bukan maksud, aku sering masuk tanpa ijin ke kamar-kamar gadis tapi kan begitu ya? Kamar perempuan akan selalu lebih rapi dan indah dipandang. Lalu kutemukan keganjilan bahwa ada notebook warna hitam legam dengan bercak darah di sampulnya. Mungkin saja itu memang desain dari notebook yang dibuat dari pabrik tapi kenapa juga harus ada darah kering di beberapa halaman? Buku itu ternyata diary, dan aku membuka beberapa halaman hingga halaman terakhir yang penuh tetes darah. Apa dia melakukan semacam ritual? Karena dia belum kembali dari kamarnya yang tidak dikunci sampai sekarang. Atau ... ? Bisa saja dia doyan dengan makanan saren? Bisa saja kan? Makanan dari darah ayam yang dibekukan, lalu di goreng. Atau bisa saja ... ? Sudah lah, itu tidak mungkin. Toh tidak ada karyawan pabrik yang benci dengan dia. Cuma menghindari dia, itu setahuku.

Halaman itu baru ditulis hari ini. Begini, mari kubacakan.

Selasa, 15 Juni 2004

Hari ini adalah hari ke empat belas aku magang di pabrik. Sempat kuingat kembali bahwa tujuan dari Bruder yang menyuruhku untuk melakukan training adalah supaya kaum tuna rungu (salah satu nya aku) kompeten dalam bidang teknik. Karena untuk meneruskan cita-cita Hellen Keller yang ahli fisika teoritis, lalu untuk penerapannya bisa dilanjutkan di bidang teknik olehku. Begitu. Tapi hari ini adalah puncak kesabaran ku karena karyawan disana membuat mataku marah. Jelas saja, bagaimana tidak? Sudah jelas di depan mata bahwa aku lah yang kebagian jatah untuk menjaga kamar inventaris, kenapa mereka selalu menghindar dan mengurangi kontak dengan ku? Padahal aku mampu! Aku bisa mengganti alat, mencari bahkan mengembalikan ke tempatnya sesuai dengan drawer yang sudah ada label catatannya. Aku ini cuma bisu-tuli! Aku bukan idiot bahkan imbecile. Aku waras! Bahkan IQ ku cukup untuk menantang B.J. Habibie dan Albert Einstein. Einstein! Stein nomor Ein itu! Muak aku muak!

Tadinya aku cukup senang sewaktu ada salah satu karyawan yang mencoba bertanya ketika aku menangis di bangku panjang dekat toilet itu. Kami bercakap banyaaaak sekali, sampai segala nya kuceritakan padanya. Dia membelikan ku coklat waktu itu. Coklat di kantin. Aku bercerita akan problema yang kuhadapi ketika aku menjadi inventaris. Ketika semua karyawan menghindari untuk bercakap denganku lalu lebih memilih Pak Mur untuk mengembalikan tool atau alat potong. Kuceritakan juga tentang keluarga seniman ku yang terkenal. Tapi apa salahnya sih kalau anak dari penyanyi dan Dalang yang mahir menyanyi menjadi atau meneruskan cita-cita Keller? Aku tau, aku yang paling digadang-gadang karena aku anak sulung. Bunyi Merdu Swastiastu sungguh nama yang sangat berat karena dari arti nama itu jelas-jelas Sang Dalang menginginkan anaknya mendampinginya menjadi sinden atau setidaknya meneruskan bakat istrinya. Lalu setelah penyakit panas luap-luap itu, dan diagnosa aku menjadi bisu-tuli, adik ku lah yang di gadang-gadang. I Rama Dentum. Setelah diagnosa dan realita ketika aku menjadi 'benda mati yang hidup', Ia lahir setahun itu. Sangat jelas terlihat kan? Dimana Sang Dalang kecewa dengan timang-timang sinden nya yang bisu. Lalu sejak saat itu, aku menjadi orang yang sangat sensitif. Sensitif ketika aku terlihat mengecewakan seseorang. Karyawan yang berdecak "ck...." lalu menghindar itu memiliki respon yang sama ketika aku mendapat minggu jenguk. Sang Dalang akan datang bersama keluarga seniman nya, melihat sulung nya sudah menunggu di ruangan lalu berdecak "ck...." dari jauh. Kemudian dia mulai menceritakan I Rama dari awal sampai pertemuan kami. Tak lupa juga ia bercerita kenapa aku bisa menjadi bisu-tuli sebagai sarana untuk menyindir ku karena aku mengecewakannya. Kesensitifanku hari ini juga tak terkontrol, karena Karyawan yang menghiburku itu bercerita tentang tetangga di perumahannya yang memiliki anak terkena panas tinggi lalu menjadi gagu. Aku tidak suka dengannya.

*

"Eh Bunyi, tadi ada yang mencari mu.."
Oh si gadis Indigo. Hai! Siapa yang mencariku?
"Tadi ada lelaki, sepertinya salah satu dari karyawan tempat kamu magang."
Oooh. Seperti apa dia?
"Transparan.."













NB: clue nya, cobalah untuk blok daerah yang terlihat kosong di sebuah percakapan (tulisan dengan tanda petik) lalu kau akan sepenuhnya tahu bagaimana percakapannya.
-Syarbel