Sepakbola, sudah
menjadi salah satu roh dunia. Mencoba memungkirinya? Berarti sama saja dengan
menyangkal ribuan manusia penikmatnya (termasuk saya salah satunya).
Sepakbola, olahraga yang hampir mengandalkan seluruh kemampuan fisik. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah
permainan ini sendiri. Sepakbola yang 2004 silam diakui secara resmi oleh badan
sepakbola dunia (FIFA) bahwa olahraga ini berasal dari Cina, dahulu
dipergunakan untuk melatih fisik para prajurit kerajaan pada zaman Dinasti Tzin
(255-206 sebelum Masehi). Dalam memanfaatkan dan memanuver permainan ini, Cina
tidak ada apa-apanya dibanding dengan Yunani. Yunani mengadopsi permainan ini
dengan biadab. Harpastron (sepakbola dalam bahasa Yunani), lebih mirip
kerusuhan massal pada jaman kejayaannya (800 tahun SM). Bagaimana tidak, lapangan yang tidak mempunyai batas-batas
pasti dan luasnya yang ditentukan lewat jumlah pemainnya. Jika memang begitu,
bagaimana bila permainan tersebut dimainkan oleh 100 orang? Cukup berpotensi,
menjadi ajang “muntah-muntahan” serta menimbulkan kematian. Setidaknya, mati
karena bermain sepakbola cukup epic
dibanding mati karena banyak menghisap rokok, atau terlalu banyak mengonsumsi
MSG. Inggris lebih gila lagi. Dalam The Anatomie of Abuses (Philip Stubbes,
1583) ketidakmanusiawian sepakbola terekam jelas: “Ratusan orang mati dalam
satu pertandingan. Pemain yang selamat banyak yang cedera parah”. Cedera parah
dalam sepakbola modern kini paling tidak adalah patah kaki. Tapi coba kita
lihat pada masa olahraga ini (entah, saya ragu pada era tersebut apakah sepakbola
pantas diklasifikasikan olahraga atau tidak) berjaya di tanah Britania. Dalam
buku yang sama,dipaparkan klasifikasi cedera parah adalah: remuk tulang
punggung, kepala bocor, mata picek, dan seterusnya. Seolah-olah sepakbola sudah
didesain dari pria, untuk pria, dan bagi pria.
Dalam
perkembangan jaman, sepakbola sudah menyangkut banyak hal yang akhirnya membuat
sepakbola sebagai pertunjukkan sejuta umat menjadi lebih manusiawi. Akibatnya tidak
hanya pria yang sekarang menikmati sepakbola, mata wanita pun sekarang bisa
lebih nyaman menonton sepakbola.
Akhir-akhir ini
wanita (terutama yang sebaya atau beberapa tingkat umur diatas saya) sedang ada
pada transisi dari seorang yang hanya tahu tentang sepakbola menjadi seorang yang “mencoba menjadi”
penggemar sepakbola. Wanita sekarang ramai-ramai membeli warna-warni seragam
sepakbola (lebih akrab kita dengar dengan nama jersey). Sebuah fenomena yang membuat saya menanggapinya dengan
pernyataan berikut: “WAG’s (wife and
girlfriend) pemain sepakbola yang notabene punya hubungan erat dengan sang
pemain sepakbola saja tidak memakai jersey tim
suami/kekasih mereka.”
Wanita
menganggap sepakbola hanya sebatas perkara maskulinitas pemain-pemainnya serta
menterengnya jersey-jersey tim sepakbola yang akhir-akhir ini mulai menjadi
(mungkin lebih tepat dijadikan) basis suatu mode berpakaian. Sepakbola bukan
hanya perkara didalam arena. Wanita hampir lupa (atau mungkin tidak tahu) bahwa
ada senyawa penting diluar arena yang bisa benar-benar menghidupkan sepakbola,
bernama supporter. Mari bicara supporter jika memang wanita menyukai sepakbola
secara utuh, karena the game isn’t the game without supporters.
Suporter, menurut
KBBI berarti orang yang memberikan dukungan, sokongan (dalam
pertandingan). Suporter, menurut realitanya dibagi menjadi beberapa
klasifikasi berdasarkan apa yang dia lakukan selama mendukung tim jagoan
mereka. Misalnya hooligans yang berorientasi merusuh, lalu ada pula ultras yang
rela berdiri dan menyanyi sepanjang 90 menit mendukung tim kebanggaan mereka.
Apa yang mereka lakukan adalah proyeksi masing-masing dari sebuah kebanggaan
dan loyalitas.
Lalu,
pertanyaannya adalah: jika wanita benar-benar ingin menjadi seorang penggemar
sepakbola siapkah mereka dengan hal tersebut?
Bukan maksud saya mengartikan menjadi penggemar sepakbola
harus menjadi hooligan atau ultras. Tetapi adalah kebanggaan dan loyalitas
sebagai pendukung sebuah tim sepakbola itu sendiri. Sudah seharusnya sebuah
loyalitas terhadap suatu tim adalah harga mati bagi the truly fans manapun.
Siapkah wanita bertahan pada identitas kesepakbolaannya jika tim yang didukung
mengalami kemunduran seperti misalnya mengalami kebangkrutan dan degradasi?
Sikap tidak
loyal dalam sepakbola dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Ketidakloyalan
sebagai fans cukup menjadi hal yang bisa dijadikan sebagai bahan olok-olok
diantara pecinta sepakbola. Tanpa dilandasi sikap berpikir yang dewasa, berpotensi memantik perpecahan
Jika loyalitas
sudah teruji, lalu pertanyaan selanjutnya adalah, cukup dewasakah wanita menanggap
pecinta bola yang sedikit gila bicara suka-suka dan celakanya sudah menjadi
budaya? Atau justru nanti saat saling memperdebatakan juga sindir menyindir tim
kebanggaannya malah terjadi cakar-cakaran, setelah itu ada pihak yang tidak
terima lalu dibawa keranah hukum? Sepele sekali.
Saya melihat gejala imperialisme wanita
terhadap hal-hal yang seharusnya tidak mereka sentuh, yang merupakan akibat
dari kemerdekaan mereka (baca:emansipasi). Bukankah semua sudah ada koridornya
masing-masing? Sama halnya ketika pria tidak patut menyentuh alat kosmetik
untuk keperluan yang tidak kontekstual, kira-kira begitulah setidaknya wanita
untuk tidak menyentuh sepakbola. Wanita sudah terlalu overload perkara emansipasi. Emansipasi wanita sekarang, adalah
emansipasi yang sifatnya adalah berusaha untuk menjadi seperti pria. Bukan lagi emansipasi yang berusaha untuk
sederajat dengan pria.
Bagi saya,
masalah wanita ingin berdandan menyerupai laki-laki, menyukai music rock, dapat
mengendarai mobil, itu bukanlah suatu masalah. Wanita sudah terlalu leluasa
melakukan apa saja dengan emansipasi mereka. Pria juga butuh sesuatu yang
benar-benar khusus pria, layaknya kosmetik yang peruntukannya khusus untuk
wanita. Dalam hal ini yang bisa diistimewakan khusus untuk pria adalah
sepakbola. Mengapa? Kembali lagi pada
sejarah sepakbola yang membentuk sepakbola menjadi permainan dari pria, untuk
pria, dan bagi pria.
Jika wanita
bermain sepakbola, lalu siapa yang akan bermain boneka? Jika wanita menonton
sepakbola, lalu siapa yang akan menonton telenovela?
Jika wanita yang memakai jersey sepakbola,
tidak lucu jika memakainya dengan cap beha.
~Aloysius Bramadintyo