Bijimane terdampar?


Kalau diurutin bijimane aku bisa terdampar di provinsi dibawah Jateng ini sangat absurd. Meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itu sangat penting di kota kelahiranku saat itu, apalagi sekolah yang sangat tenar di kotanya atau malah di Jawa setidaknya. Dengan embel-embel yang cuma ada delapan di Indonesia (dua di Jakarta, dua Semarang, satu di Solo, satu di Magelang, satu di Jogja, terakhir di pulau Papua) membuat sekolah menengah atas macam ini menjadi favorit di kalangan remaja yang mengenal lembaga-lembaga seperti itu.

Di kota kelahiran yang mayoritas perdagangan dikuasai kaum kulit kuning itu, lebih condong dengan pendidikan bisnisnya, sedangkan di kota metropolitan, lembaga itu mendidik bagaimana menjadi pejabat. Ada kesinambungan dengan semua almameter masing-masing daerah. Seni itu cukup keren bagi beberapa orang, tapi tidak semuanya. Hanya beberapa orang yang tertarik di kota seni Jogja ini. Siswa-siswa (ga ada siswi) yang identik dengan muka lusuh, gondrong, wangun ini menjadi kekhasan tersendiri di sekolah ini, setidaknya masa-masa kejayaannya. 

Sejak kecil pengetahuan tentang lembaga ini tidak pernah menarik perhatianku dengan meneruskan di lembaga ini kelak. Keanehan ini dimulai sejak jaman sekolah dasar. Keberuntungan yang terjadi akibat hubungan yang kubuat dengan Dewi Fortuna begitu saja diberikan padaku. Saat mencari sekolah menengah pertama, aku hanya berpikiran masuk ke sekolah abal-abal yang dimataku (saat itu) terlihat keren. Melewati beberapa try out SMP yan saat itu pamornya tinggipun hanya kukerjakan dengan asal-asalan. Bukan tidak disengaja, tapi entah apa yang diperbuat kekasihku itu. Yap, Dewi Fortuna memberikan nilai sekitar delapanpuluh, yang membuatku lolos masuk ke SMP favorit itu tanpa tes lagi, dan langsung masuk dengan beberapa keringanan biaya yang ditawarkan. Anehnya, aku baru tahu kalau banyak teman satu angkatan di sekolah dasar juga masuk ke sekolah ini. Denga ke-SKSD-an ku (Sok Kenal, Sok Dekat -red) membuatku lebih mudah menerima dan diterima kalangan baruku ini.

**

Gadis-gadis yang berbeda dan lebih jauh level kecantikannya dari sekolah dasar, membuat sosok monyet ini muncul. (?) Yaaah, namanya cinta monyet, pastinya monyet yang melakukan. Well, dulu revolusi menjadi monyet dikarenakan cinta juga terjadi kok. Kelas 7, dimana awal cerita dimulai, aku ditemukan sosok yang saat ini juga berada di kota yang sama denganku. Dengan pengorbanan waktu lima tahun, dan tetap saja tidak mendapatkannya. Kelas 8, dimana semua kejadian mulai terjadi satu persatu. Dimulai dengan hubungan wagu antara aku dan alumnus SMP itu. Hubungan yang hampir menjatuhkanku ke dalam lubang hitam. Oh, demi masa! Pembelaan diri yang berujung fitnah ke diriku menjebloskanku dalam penjara skorsing 1 minggu penuh (setidaknya ini bisa menjadi salah satu hal yang bisa kubanggakan kelak). Otomatis sejak itu pamorku menjadi meningkat, tetapi dengan catatan buruk. Kelas 9, semuanya berjalan lancar saja sampai gap mulai tercipta sejak gang-gang mulai muncul. 7E ceria, Granat, Cah Trap, setidaknya itu yang bisa dilihat tonjolannya di angkatan kami.

Hari-hari terakhir sebelum Ujian Nasional, rawat inap sekitar satu minggu mungkin cukup sebagai sarapan sebelum perang pikir itu. Bermodalkan pikiran blank, tubuh lemah, rambut gondrong acak-acakan (saat itu dilarang) perang pikir itu cukup sukses.

**

Sebelum kejadian UN, bagi kami yang meneruskan di swasta dipersilahkan mencari sekolah lanjutan. Para kaum kulit kuning dan beberapa pribumi gedabigan mendaftar di salah satu lembaga (dari total delapan lembaga di Indonesia). Bapak dan Mbak lulusan dari lembaga yang diserbu itu. Otomatis aku juga didaftarkan di lembaga itu. Aku dan kekasihku (dewi Fortuna) setuju bahwa aku tidak masuk di sana. Karena hampir dari setengah temanku disana. Ini hanya bedhol desa, pikirku. Memutuskan ke sekolah di kota seni Jogja ini cukup kontroversial karena harus melepaskan satu tiket masuk di lembaga gedabigan itu.

"Yen kowe ora ketampa ning sekolah kuwi kowe arep mlebu ndi?" Tanya Ibuk takut
"Santai wae, yen ra mlebu yo ning Don Bosco."
 
Don Bosco, satu-satunya sekolah yang bisa kumasuki jika aku tak masuk kedua-duanya. Akhirnya Fortuna memberiku kesempatan lagi. Dan terdamparlah diriku di sekolah ini, sampai detik ini.

Leave a Reply