Lost Pressure.


Minggu, 6 Januari 2013

                Kemarin. Suatu hari yang bukan seperti biasanya. Kali ini pikiranku sempat tertekan oleh ancaman orang tua perihal ekspektasi mereka tentang pendidikan yang sedang aku perjuangkan. Klasik. Aku jamin hampir semua orang tua akan memberi nasihat-nasihat sarkasme atau bahkan sampai umpatan yang sebenarnya bermaksud membelokkan kita kembali ke jalan yang sebenarnya. Pelarian dari tanah kelahiran menuju tanah pendidikan. Laksana menggenapi kalimat-kalimat yang teruntai pada lagu Tanah yang Indah Untuk Para Terabaikan, Rusak dan Ditinggalkan. Bukan semata-mata untuk menghindari orang tua, tapi memang sudah cukup waktu untuk membiarkan orang tua saya berhenti menaikkan tangga nada setiap melihat sosok lelaki gondrong di rumahnya.

*
                Sepasang orang tua dari orang tua saya pun harus mengucapkan beberapa nasihat sarkasme, sepertinya ini suatu adat istiadat yang selalu diturunkan setiap generasi. Seakan mereka bergantung pada satu-satunya lelaki di generasi ketiga yang diharapkan meneruskan generasi mereka. Tidak. Keinginan untuk meneruskan generasi keempat tidak pernah dan tidak akan ada. Aku akan menjauh dari generasi kedua itu dan membuktikan bahwa generasiku akan berbeda sin 60 derajat dari kekacauan yang mereka buat sendiri. Menghilang dari peradaban, kemudian tampil sebagai adab yang baru.
*

                Pelarian terpenuhi, inbox pun penuh oleh mereka yang silih berganti meributkan makhluk ini. Brama. Aloysius Bramadintyo. Bukan sahabat, aku tak pernah memiliki sahabat yang selalu tetap [hanya itu, gak ada yang lain]. Karena memiliki sahabat terkesan memilih-milih teman, menurutku. Sosok yang kukenal secara tak sengaja, saat itu sering kuejek. "Gita Gutawa!!" ,kubilang. Dia cuma nyengar-nyengir karena memang tidak mengenal seseorang yang mengejek dia saat itu. Setengah tahun kemudian, kami dipertemukan disebuah komunitas. Teater. Dia juga yang memperkenalkan dengan Jenny [kemudian mengganti nama, FSTVLST].

Kemarin Sabtu, 5 Januari 2013.
Lama tak berjumpa. Terimakasih mas Farid Stevy Asta dan rekan-rekan Festivalist yang memaksa peluh ini keluar. Gak pernah nyangka kan mandi saat konser? Terima kasih atas hantaman-hantaman teman-teman yang tidak saya kenal disana. Terima kasih untuk ludah-ludah yang mungkin sampai sekarang belum kering di jaket. Matur nuwun Ewalduce yang menawarkan "Gentong" ringan dan "Kaung" yang katanya membahana wadaw badai.
                Setelah bersenang-senang didalam ruangan tak berventilasi, kemudian bersakit-sakit di lapangan parkir hingga tengah-tengah jalan Gejayan. Hanya untuk membangkitkan jiwa Brama yang mati (jiwa, baca: mesin motor). Namanya juga usaha dini hari. Di lain sisi jiwa-jiwa muda beraksi menghancurkan tubuh mereka di diskotik, ataupun tempat tongkrongan mereka. Tiba-tiba mesin motor sudah panas, dan siap mengantarkan tubuh gemuk Brama itu untuk pulang. Entah Setan atau Malaikat yang membantu, yang pasti bukan Bulan.

Danke,

Pengecut.

Leave a Reply