Indahnya Konflik

Seminggu berlalu, kehidupan sepertinya itu-itu saja. Maka dari itu konflik selalu ada. Setidaknya untuk menimbulkan greget bagi kita.

Pertikaian antara pikiran-pikiran di otak dimana yang satu menginginkan seorang kekasih, yang (mungkin) bisa membantu mendongkrak semangat belajar. Walaupun tarif pulsa tetap tidak bisa didongkrak.
Lain pikiran tetap ingin mempertahankan hilangnya keperjakaan di tangan. Dengan cara apapun, pikiran ini selalu menang ata lawan pikirnya.

Ternyata ketidaksengajaan minggu lalu menulis tentang Emansipasi Pria, secara tidak sengaja ada tanggapan dari art director di teater sekolah kami. Kami semua bercerita ditengah kesunyian. Cerita tentang luput, lara ati, salah strategi, dan semacamnya. Sampai, pada akhirnya didapatkan sebuah kalimat dari sang Penceng itu.

"Lanang menang milih, wedok menang nolak."

Setidaknya tidak perlu kuceritakan semua konflik seminggu ini. Sekian.


Emansipasi. Pria.

Karena semakin banyaknya populasi perempuan, dan dipermudahnya perempuan dalam hal apapun semakin membuat kalangan lelaki perlahan akan hilang dari peradaban.

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah thread di sebuah forum Indonesia yang menceritakan ribetnya bikin SIM tanpa nembak (Biro Jasa), yang sejak awal masalah ada di birokrasi bobrokisasi borokisme negara kita ini. Di thread itu juga diceriterakan ada petugas yang langsung meluluskan seorang perempuan yang akan mengikuti ujian praktek pengambilan SIM C, dengan meminta nomer ponsel milik perempuan ini. Biadab. Mungkin lain kali ada petugas wanita yang meluluskan seorang pria, hanya dengan minta nomer ponsel. Ini yang baru namanya emansipasi pria.

Di sisi lain, dimana para mahasiswi yang mampu membiayai mobil yang semakin banyak dimana-mana, semakin banyak juga nyawa yang terancam bahaya. Setelah pengamatan yang dimulai sejak empat tahun lalu (2009), pengendara mobil yang paling membahayakan yaitu pengendara mobil ber-plat B dan perempuan. Dikarenakan perempuan yang rempong menaruh semua barang kesayangannya di dalam mobil semaunya, dan terkadang ga fokus dalam berkendara. Contoh simple aja, hampir semua pengendara motor yang berkendara di belakang mobil yang dikendarai ayam kampus pasti berbahaya karena ayam itu malah sibuk dengan gadget-nya sendiri. Bah! Mungkin memang mereka disebut ayama karena belum tahu untuk menempatkan diri?

Seorang guru berkata,

"Sekarang para perempuan sudah menyadari bahwa populasi mereka lebih banyak daripada populasi pria. Jadi, untuk masalah percintaan perempuan sudah mau untuk memulai pembicaraan. Jika pria yang masih memulai pembicaraan berarti ... Selamat siang, saudara-saudara. Terimakasih."
Pria = murahan? Damn. Semakin kita hanya diam saja, dan masih terbawa arus kaum kita (pria) akan semakin berdiri terinjak. C'mon guys!
"@Bangipong: Cuma sampah dan ikan mati yang ikut arus (pepatah tua)." ... "dan eek" tambah Farid Stevy.




Tambahan artikel: Suarakan Emansipasi Pria, Diga Simorangkir



Foto-foto lampiran,






















From Cilincing with Laugh

Nano-nano. Manis-asem-asin ramai rasanya. Begitu sekiranya bau amis yang tercium kurang lebih satu kilometer sebelum memasuki kampung para buruh pengupas kerang di Cilincing. Sebelumnya kelompok kami ditempatkan di sebuah “Rumah Kerang” dimana para Suster bekerja disana untuk membantu para buruh pengupas kerang yang masih butuh bantuan mereka. Di Rumah Kerang, kami lebih dimanjakan, dan hamper semua dari kami bersyukur andaikan tempat itu dijadikan base camp atau rumah bagi (sekitar) tigapuluh lima orang. Dan ternyata ZONK! Setelah kami ketahui, Rumah Kerang hanya merupakan tempat kami mampir untuk minta makan. Pembagian induk semang merupakan hal yang kami semua minta amannya. Sepuluh orang dari kami disisakan untuk ditempatkan di Marunda, dan lainnya tetap sama, di Cilincing.

Aku dan Simbah (XI SOS I) ditempatkan di satu rumah yang sama. Pertemuan dengan Mamak, induk semang kami sangat kami syukuri pada awalnya. Melihat dari belakang, beliau memakai jaket parasit berlabel GUCCI, merk mahal dari negri luar. Setelah sampai di rumah dan memikirkan persepsi awal tadi, mungkin itu bukan merk luar negri, tapi lokal Tanah Abang. Karena hamper semua rumah hanya selebar 4 x 4 meter kurang lebihnya. Setidaknya lebih besar dari gudang (baca: kamar tidur) yang aku tempati, sehingga aku tidak mempunyai masalah untuk berbagi posisi saat tidur bersama lima orang lainnya.

“Ini namanya Kijing pejantan.” – “Hah? Opo? Kinjeng? Sakngertiku iki kerang.”
Perjalanan sekitar tiga kilometer dari Rumah Kerang ke rumah Mamak Warsiah langsung disambut oleh kerang pejantan (warga Cilincing lebih sering menyebut Kijing). Bukan kijing biasanya (kerang ijo) karena kijing biasanya memang sedang tidak bisa di panen. Namanya perantauan, yang namanya bantu nyoba pasti betahnya cuma beberapa menit, dan ketika menyerah otomatis boyok dan semua hal tentang otot dan tulang belakang entah kemana. Sejenak kami merasa sebagai makhluk avertebrata.

Mamak Warsiah dan Pak Raswan, menurutku mereka sepasang suami-istri yang memiliki usus paling panjang atau “dawa usus’e” yang bagi orang jawa merupakan arti dari orang paling sabar. Pasutri ini memiliki sepasang anak, laki-laki dan perempuan. Aa’ Rudi Hartono masih berumur sepuluh tahun, dia sekarang masih bersekolah di kelas 3 SD disana. Aa’ Rudi anaknya soleh, pinter matematika, alim, setidaknya itu yang pertama kali kami ketahui di hari pertama. Dia lebih suka belajar, karena dia merupakan satu-satunya anak lelaki yang digadang-gadang orangtuanya untuk menjadi tumpuan keluarganya kelak.
Endah Novianti merupakan anak bontot paling rewel di rumah ini, jelas saja aku menyebut Mamak dan Bapak adalah orang paling sabar, mungkin kalah dengan karakter-karakter di FTV manapun. Endah masih berumur tiga tahun dan sangat-sangat merepotkan keluarga kecil ini. Bayangkan pekerjaan mengupas kerang yang memang tak begitu susah, tetapi hasil yang didapatkan per kilo hanya di hargai DUA RIBU RUPIAH! Oleh semua mandor di daerah itu. Dan dari (biasanya) sepuluh kilogram hasil kupasan kerang bisa dipakai Endah semua untuk jajan makanan/mainan gak mutu. Jika gak diturutin, terkadang tangisnya cettarr membahana wadaw badai pemecah ombak! Alhasil mau ga mau, yang namanya orangtua harusnya merawat dan memberikan apa yang orangtua bisa diberikan pada anaknya.

Malam Selasa, 28 Januari 2013, sekitar pukul 7 malam kami di ajak ke rumah teman satu nasib Bapak di kampung belakang. Belum sempat mengingat nama, kami sudah mendapat ceramah tentang pentingnya sekolah saat ini. Bapak hanya sempat sekolah lima tahun dari SD hingga SMP, itu saja tidak mendapat ijazah. Bapak dan temannya sangat menyayangkan kondisi bangsa kita ini yang sudah mendapat fasilitas memadai bahkan lebih dari cukup canggih, tetapi masih banyak juga anak-anak seumuran sekolah yang sering tawuran karena hal sepele.

“Katanya orang sekolah orang yang intelek? Masa kalah sama orang gagal sekolah yang cuma modal akal dan budi?”

Setidaknya itu yang dikatakan Bapak dan temannya. Ada juga tetangga yang sudah berumur tujuhbelas tahun, tetapi masih kelas 3 SMP. Makanya Bapak lebih sering memperhatikan anak sulungnya supaya menjadi orang yang setidaknya bisa mencari uang dan tidak serabutan seperti kedua orangtuanya, kata bapak. Karena memang sekolah itu mahal dan sangat istimewa di daerah ini. Walaupun kegiatan Jokowi yang akan menggratiskan sekolah bagi beberapa keluarga yang memiliki kartu pintar-nya, toh kartu itu sampai sekarang belum bisa diterima dan sangat susah untuk mengurusnya.

Selasa pagi, 29 Januari 2013, cuaca perlahan mulai memburuk dan sama sekali tidak memungkinkan para nelayan memanen kijing untuk member pekerjaan para pengupas kerang di waktu senggang. Kegiatan yang monoton pun dilakukan, mengurus Endah si anak rewel. Mau tak mau, inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan. Malam harinya, sekitar sembilan orang dari kami berkumpul karena memang hari kedua tidak ada pekerjaan sama sekali. Kami rencananya bersilaturahmi dengan warga lainnya. Situasi disini sangat berbeda dengan suasana di kota yang cuek. Warga saling bersilaturahmi. Tidak hanya dengan antar-warga, tetapi juga dengan tikus, kucing, kambing, klabang, laba-laba, dan lainnya itu sudah menjadi bagian dari RW 13 di Cilincing ini.

Pak Tahang dan Ibu Hadi dari RT 12 merupakan tempat kami bersilaturahmi. Di rumah itu ternyata juga mendapat titipan empat orang siswa SMA Kolese de Britto. Ibu Hadi bercerita banyak akan ketidakjelasan kehidupan para nelayan di Cilincing. Sehingga sampai pada hari ketiga ke-empat teman kami sama sekali belum bekeja membantu keluarga Ibu Hadi. Ibu Hadi juga bercerita tentang keinginan Pak Tahang yang sangat ingin memiliki anak laki-laki. Hingga sampai keinginan itu terwujud, lahirlah anak laki-laki, tetapi sudah anak ke-empat dan dia masih kecil. Lain cerita, Ibu Hadi sempat membantu korban yang rumahnya tersapu ombak selama 21 hari, non-stop! Walaupun Ibu Hadi capek dan sempat menangis, itu semua tidak akan merubah apapun yang ada di dunia ini. Jadi Ibu harus bekerja semaksimal Ibu untuk menolong para korban yang rumahnya tersapu ombak, kata Ibu Hadi.
“Rejeki orang udah ada yang ngatur sendiri-sendiri..” ~Ibu Hadi

Dari pengalaman live in, saya mendapat sebuah pencerahan akan nilai-nilai kehidupan. Semisal tentang kerja keras para buruh pengupas kerang yang sama sekali tidak sebanding dengan apa yang di dapat. Bayangkan satu kilogram kupasan kerang yang seharusnya di hargai senilai Rp 5000,- ke atas malah di hargai DUA RIBU PERAK! Dan terkadang keadaan mereka di cukup-cukupkan dengan penghasilan mereka yang seperti itu!

Sabar. Sabar akan segala macam pekerjaan mereka. Para pengupas kerang yang mendapat upah tak seberapa itu pun jika tidak sabar, mereka tidak akan hidup di Cilincing. Mereka harus yakin mendapatkan lebih dari sepuluh kilogram untuk mendapat upah paling tidak sebesar Rp 20.000,- Para peternak kerang seperti Pak Tahang yang nasibnya terombang-ambing dikarenakan angin di laut, dan cuaca yang kadang tak mendukung, sehingga terkadang Pak Tahang juga menganggur/serabutan.

Sekolah = penting. Di Cilincing sekolah itu penting dan istimewa.Banyak dari warga di sana yang belum sekolah, dikarenakan ekonomi keluarga mereka yang menengah ke bawah. Memang ada beberapa orang yang di sekolahkan oleh orangtuanya, tetapi lebih memilih sering tawuran dengan alasan mengisi waktu luang. Seharusnya dengan sekolah kita semakin intelek, dan mengerti sia-sianya tawuran dalam segi apapun!
Berbagi. Warga Cilincing selalu berbagi dalam bentuk apapun. Berbagi jalan, berbagi senyuman, berbagi tempat tidur, apapun!





Teks diambil dari folder D:\Tugas\XI IPA 4\From Cilincing with Laugh << ra penting
yang merupakan tugas refleksi wajib saya untuk sekolah.