Dusta Nista

Isak tangis cakrawala
Menggetarkan kesedihan dunia


Duh Gusti, apa salah hamba?
Ketika ku berdiam menghisap jemari
meratapi ketololan diri

"Apa arti cinta?" tanya adik.
Entahlah, dik.. Kamu tidak nyata.
Emas matahari menutup pagelaran siang
kilau perak bulan yang menyeruak,
mengukuhkan kekuatan malam.

"Dia gadis yang khas, bukan?" tanya sahabat.
Entahlah, sobat.. Kamu itu maya.
Dingin angin malam tertusuk,
tusukan kegalauan diri seorang lelaki.

Aku rela mengakhiri,
dengan harapan memulai.

Dusta nista, lelaki pada wanita.
Sahih..
Sahih benar!

Mungkin hanya ingin..
Tapi masih 'mungkin.'

Penuntut Dituntut

Terlebih ketidaksukaan saya terhadap orang yang suka menuntut adalah dia orang yang selalu menang. Intinya, saya adalah orang yang jarang menang, bahkan tidak pernah menang. Beliau memang seorang pemimpin disini, maka layak-layak saja baginya untuk selalu menang. Memang, bawahan harus manggut-manggut bila pemimpinnya mengutarakan proyeknya, apalagi keluh-kesah tentang pengerjaan proyeknya.

Saat itu, mendadak secepat kilat ada seorang teman yang ingin mengajak berdebat. Memang dia pandai debat, tapi sangat bodoh apabila dia mengajak "orang yang selalu menang" untuk berperang dengan cara perdebatan. Pertamanya, Mercu cuma sekedar bertanya. Tapi semua orang sudah tahu bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh Mercu tak lain tak bukan adalah awalan untuk memulai silat lidah, termasuk "orang yang menang" juga sudah mengetahuinya. Menurutku Mercu terlalu berani untuk hal ini. Jabatan Pak Rica hanya sekedar wakil di organisasi ini, dan jabatan 'orang yang selalu menang'-nya itu sudah cukup meyakinkan kami bahwa ketua organisasi ini lebih kuat, lebih jelas menangnya apabila diajak berdebat. Bagi kami para bawahan cukup manggut-manggut dan melaksanakan apa yang diperintahkan.

Banyak orang bilang Pak Rica adalah obat dari penyakit organisasi ini. Lain halnya dengan Jelangkung--begitu kami menyebut nama bos kami--yang menjadi penyakit bagi kami. Latar belakangnya yang meyakinkan kami kenapa dia layak dibilang penyakit di organisasi ini. Bila dilihat dari sisi positif, terkadang kemarahan-kemarahan Jelangkung selalu benar adanya. Tapi bagi psikis dan mental bawahannya, itu selalu merusak dengan pasti. Hanya beberapa orang yang menyadari keluputannya, dan mau berkembang ke depan.

Organisasi kami merupakan kelompok yang selalu disepelekan. Kami bekerja sebagai buruh-buruh waktu. Dimana kami menghabiskan waktu dengan berkumpul membahas proyek-proyek yang sudah ditentukan kapan akan ditagih pertanggungjawabannya oleh orang-orang luar.

"Kita melingkar, itu berarti kita tidak ada batasnya. Tidak terpisah oleh sudut-sudut, dan pikiran-pikiran yang berbeda. Kita disini semua harus rendah hati dan menghilangkan egoisme masing-masing individu." ucap Pak Rica di suatu rapat.
"Ya.. Jadi.. SEGERA BUANG EGOISME KALIAN, ATAU KALIAN SAYA PECAT!" sambung Jelangkung.
Pak Rica langsung mengelus punggung bos kami, "Uwis to bos, mbok uwis.." Mata Jelangkung terbelalak, nafasnya tidak teratur, kupingnya memerah, terlebih para anggota disini ketakutan, ketakutan melihat Jelangkung yang kesurupan.

=

Singkat hari, saya pulang meninggalkan hari itu. Kepala saya sakit, terngiang-ngiang tuntutan dari Pak Rica atas segalanya. Bagaimana bisa saya lebih baik? Apalagi Bos sudah jelas marah, bahkan kesurupan seperti itu. Capek sudah. Lelah sudah batin ini selalu dihiasi oleh kutukan-kutukan Jelangkung kesurupan itu. Ya kau tahu, selalu ada maksud bagi semua yang masuk ke boneka iblis itu. Sudahlah, saya sudah jelas lemah-letih-lesu ; 'mahtisu' kalau adik saya bilang.

Sepulangnya di depan rumah pun tidak ada yang menyambut seperti biasanya. Jelas saja, di usia saya saat ini, saya belum memutuskan untuk menikah. Petang, Dara tiba di rumah. "Sekedar mengunjungi." katanya. Berdua kami membelah malam, menyemarakkan kesunyian. Pelukan makin erat. Tangan ini makin liar, meraba-meremas apa yang dilewatinya. Bibir ini melumat bibirnya seakan-akan tubuh ini menjadi media bagi jelangkung lain.

"Mas! Kenapa sih! Kalau nafsu ya nafsu tapi ngga begini jugalah!" bentaknya pada boneka.
"Saya capek, Dara. Saya perlu ini."
"Iya! Tapi bukan berarti liar seperti kera beginilah!"
"Saya bukan kera liar! Kenapa kamu merendahkan saya?"
"Ya habis kamu kaya kera liar beneran. Remas-remas tetekku, raba-raba bokongku! Ini bibir sampai lumer kalau kamu lumat terus tau ngga!"
"Aku lakukan itu karena aku butuh! Aku masih waras! Aku lelaki yang selalu butuh ini! Aku bernafsu? Ya! Kamu tidak bisa menuntut orang seperti yang kamu mau! Kalau kamu sudah memutuskan denganku, harusnya kamu terima! Itu pilihanmu, konyol!"

Malam itu cukup sampai jam delapan. Dara memutuskan untuk langsung pulang. Tanpa berpamitan. Sebelumnya, aku tidak pernah tidak mengatakan 'saya'. Ya aku orang yang formal. Tapi tidak sampai iblis ini hidup dan menjadi benalu di tubuh ini. Bukan, boneka ini.

Pagi harinya, ada kiriman sarapan. Mungkin dari Dara. Catering itu tertata rapi dalam rantang dan berisi lengkap. Ada surat pula yang tercepit di antara pegangan rantang itu. Mungkin Dara masih marah karena aku marah. Hahaha, lucu juga menurutku. Ketika orang marah karena orang lain marah. Ya, Dara memang lucu. Dunia ini memang lucu.

Setelah aku memakan sarapan yang dikirim Dara, kuputuskan untuk membaca surat itu.

Mas, Dara tahu kemarin malam kamu capek. Tapi capekmu berbeda. Kamu seperti kerasukan. Kamu lain, mas. Dara tahu kegiatan di organisasi mu menyusahkan. Memang kita terbiasa dituntut oleh petinggi kita, terbiasa disuruh-diperintah oleh atasan kita. Tapi apa kita pernah mengelak? Bertanya, kenapa kita disuruh? Atas dasar apa? Setidaknya itu yang kulakukan. Tidak seperti pecundang-pecundang lainnya. Aku pengecut, tapi bukan pecundang. Aku lebih memilih menyimpan dalam hati, dan menyampaikannya dengan paragraf-paragraf yang aku tulis. Bukan seperti pecundang yang katanya mengundurkan diri secara hormat, tapi tetap ngrasani.
Dara bukan ingin memutuskan hubungan, aku cuma tidak mau bertemu Mas KY sampai waras dulu. Kamu berbeda, Mas. Kembalilah. Sadarlah.

Peluk sayang,


Dara

Ya sudah, aku tidak terlalu peduli. Semua orang berubah, tapi baik-tidaknya tergantung sudut pandang orang masing-masing. Aku berangkat, mengawali pagi yang gelap. Mendung gemuruh mengancam hujan. Sesampainya di kantor, aku mendapat isu beberapa teman sudah mengundurkan diri. Termasuk Mercu, bocah pemberani tak berotak itu.
Hari demi hari, pagi selalu gelap dan tak pernah terlihat sang surya. Aku tidak peduli dengan itu semua. Kejadian-kejadian yang sama pun selalu terjadi. Satu per satu anggota kami berkurang. Sampai pada akhirnya lingkaran yang kami buat sudah bukan lingkaran..

Aku yakin mereka semua pecundang.

Badut yang Marah

Ketika badut itu sedang bekerja. Semuanya tahu badut tidak akan menunjukkan emosi marahnya. Toh kalau badut terpaksa/tak sengaja meluapkan emosi marahnya, semuanya akan mengira itu cuma lelucon.

Ya, saat itu latihan teater. Disana sedang adegan di dampar keprabon. Kami berdua masuk kesana, datang untuk menagih janji hadiah yang terlisan di sayembara yang Ratu Ayu adakan. Kami berhak mendapat semuanya, termasuk Gusti Lurah saya untuk menikah dengan Ratu Ayu. Mulailah mereka, mulailah para Adipati, Mahapatih, Layang Seto dan Layang Kumitir meluapkan kepenatan mereka. Ceritanya disini lebih kurang 15 lawan 2 orang. Gusti Lurah lebih memilih diam, beliau tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saya mulai marah. Disini mereka tidak menghargai kami. Saya mulai direndahkan. Saya mulai panas. Pikiran pun mulai bruwet. "K*NTOOOOOOOLLL!!" Teriakan tersebut tidak menghentikan mereka. Mereka menganggap itu sebuah dagelan yang biasa saya lancarkan. Telinga ini sudah panas. Kalian mungkin bisa lihat ada asap di kepala itu. Walk out.

Saya sudah tidak kuat. Saya takut, energi negatif saya terbawa ke adegan lain. Sutradara menyukai situasi seperti itu. Ada apa ini? Mereka tidak tahu perasaan saya! Saya cuma tidak ingin menularkan energi negatif ke yang lain. Banyak gadis disana. Saya mulai masuk scene.. Art director juga menyukai kondisiku saat itu. Saya muak, saya merasa diperalat. Kepala ini berasap. Pikiran ini musnah. Robotkah saya? Petinggi pentas itu memasukkan Adipati-adipati dan Mahapatih. Sosok yang tak saya suka. Saya mati. Saya...

Adegan lain, saya sudah tahu cecunguk-cecunguk itu akan masuk lagi. Gergaji lah yang kuambil. Pendek sekali pikiran saya? Saya hampir saja mau membunuh teman-teman. Saya rela-rela saja menyiksa saat itu. Itu semua karena kemarahan yang tak beralasan, pikir saya saat itu. Mereka menuntut, mereka senang dengan kondisi tertekanku, mereka tertawa di penderitaanku. Padahal pikiran ini kesana-kemari. Saya berbicara tidak menggunakan otak, saya berbicara menggunakan mata. Saya...

Mahapatih berkata, "Mana Dayun yang dulu? Mana Dayun yang ceria?" Otak saya sudah rusak. Hati saya mulai tersentuh. Perasaan ini berkata, "mereka takut dengan dirimu yang ini, berubahlah segera.. Segera.." Saya paksa.. Saya terpaksa. Antara otak, hati dan perasaan yang memaksa pikiran ini untuk tetap hidup. Anarki atau mencintai.

Saya menangis saat itu.

Kujelaskan disini, karena sejatinya aku tak bisa berucap dengan jelas. Aku hanyalah seorang pengecut yang lebih mudah menjelaskan dengan paragraf-paragraf ini.

Jangan Paku Pohon

Baiknya menjadi manusia
yang menghargai kehidupan adanya
Budi dan akal,
sebagai titipan dari-Nya

Kuasa untuk merawat,
bukan kuasa merusak
Kuasa dititipkan-Nya,
Beliau percaya kita,
Beliau mencetak secitra

Tolong hargai mereka.
Oksigen terpancar,
sejuk memijar,
rindang yang tak pernah hambar.

Lilitan kawat,
aspal yang tak merawat,
asap kendaraan bangsat.
Mereka tak mengeluh,
mereka ikhlas.

Jangan paku pohon.
Getah itu analogi getih.
Sakit mereka rasakan.
Apa tak cukup sakitnya paku
pernah dirasakan manusia?
Paku. Salib.

Jika berhala itu ada,
Tuhan kita ialah mereka.
Pohon.