Badut yang Marah

Ketika badut itu sedang bekerja. Semuanya tahu badut tidak akan menunjukkan emosi marahnya. Toh kalau badut terpaksa/tak sengaja meluapkan emosi marahnya, semuanya akan mengira itu cuma lelucon.

Ya, saat itu latihan teater. Disana sedang adegan di dampar keprabon. Kami berdua masuk kesana, datang untuk menagih janji hadiah yang terlisan di sayembara yang Ratu Ayu adakan. Kami berhak mendapat semuanya, termasuk Gusti Lurah saya untuk menikah dengan Ratu Ayu. Mulailah mereka, mulailah para Adipati, Mahapatih, Layang Seto dan Layang Kumitir meluapkan kepenatan mereka. Ceritanya disini lebih kurang 15 lawan 2 orang. Gusti Lurah lebih memilih diam, beliau tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saya mulai marah. Disini mereka tidak menghargai kami. Saya mulai direndahkan. Saya mulai panas. Pikiran pun mulai bruwet. "K*NTOOOOOOOLLL!!" Teriakan tersebut tidak menghentikan mereka. Mereka menganggap itu sebuah dagelan yang biasa saya lancarkan. Telinga ini sudah panas. Kalian mungkin bisa lihat ada asap di kepala itu. Walk out.

Saya sudah tidak kuat. Saya takut, energi negatif saya terbawa ke adegan lain. Sutradara menyukai situasi seperti itu. Ada apa ini? Mereka tidak tahu perasaan saya! Saya cuma tidak ingin menularkan energi negatif ke yang lain. Banyak gadis disana. Saya mulai masuk scene.. Art director juga menyukai kondisiku saat itu. Saya muak, saya merasa diperalat. Kepala ini berasap. Pikiran ini musnah. Robotkah saya? Petinggi pentas itu memasukkan Adipati-adipati dan Mahapatih. Sosok yang tak saya suka. Saya mati. Saya...

Adegan lain, saya sudah tahu cecunguk-cecunguk itu akan masuk lagi. Gergaji lah yang kuambil. Pendek sekali pikiran saya? Saya hampir saja mau membunuh teman-teman. Saya rela-rela saja menyiksa saat itu. Itu semua karena kemarahan yang tak beralasan, pikir saya saat itu. Mereka menuntut, mereka senang dengan kondisi tertekanku, mereka tertawa di penderitaanku. Padahal pikiran ini kesana-kemari. Saya berbicara tidak menggunakan otak, saya berbicara menggunakan mata. Saya...

Mahapatih berkata, "Mana Dayun yang dulu? Mana Dayun yang ceria?" Otak saya sudah rusak. Hati saya mulai tersentuh. Perasaan ini berkata, "mereka takut dengan dirimu yang ini, berubahlah segera.. Segera.." Saya paksa.. Saya terpaksa. Antara otak, hati dan perasaan yang memaksa pikiran ini untuk tetap hidup. Anarki atau mencintai.

Saya menangis saat itu.

Kujelaskan disini, karena sejatinya aku tak bisa berucap dengan jelas. Aku hanyalah seorang pengecut yang lebih mudah menjelaskan dengan paragraf-paragraf ini.

Leave a Reply