Kepada Rembulan dan Semesta

Malam demi malam berlalu. Bisakah kau membayangkan, ketika orang yang kita cintai--terlebih sama-sama mencinta--pergi meninggalkan kita demi cita-cita yang sudah lama ia damba. Sebut saja aku manusia galau. Itu labelling yang kuterima dari mereka.
"Etnis?"
"Bukan."
"Restu?"
"Bukan."
"Masalah sepele?"
"Tidak."
"Berarti masalah besar?"
"Bisa jadi."
"Lalu apa dong?"
"Cita-cita."
Setidaknya aku masih memiliki beberapa teman cerewet yang selalu menghebohkan malam senyapku ini. Aku tidak pernah merokok, apalagi minum alkohol. Pesta? Dari sudut pandang mana dulu kau mengatakan pesta? Teman-temanku selalu mengajakku 'berpesta' dan yang paling penting, aku tidak senakal yang kalian pikir. Aku lugu.

Malam ini tidak beda dengan beberapa malam sabtu lainnya. Ketika aku mendongak ke atas dan Rembulan menyapaku, lalu menertawakanku dengan sinis. Tak masalah. Aku tetap suka dengan keindahan Rembulan. Dialah satu-satunya saksi yang melihat ketika hubungan kami diselesaikan dengan penuh kebingungan melanda hatiku. Dilemma, istilahnya. Banyak orang mengatakan Rembulan sekedar saksi bisu. Belum tentu. Bisa saja Rembulan mengatakannya pada Matahari? Atau bahkan Bintang? Atau malah kepada Galaksi? Biarkan mereka semua tahu ceritaku ini. Ketika cerita ini selalu menjadi bagian dan barang bukti dimana aku masih mencintai dirinya.


Minggu lalu aku sekilas melihatnya. Ya, aku tidak terlalu tertarik kala itu. Cuma sekadar cinta-cinta kecoa saja, yang cuma lewat sliwer lalu sudah.. Bisa jadi dia memang cocok untukku? Ah sudahlah, biarlah waktu yang mengatakannya.

Kami bertemu di pekerjaan kami. Kami berbeda divisi dan tentu saja kami dipertemukan saat rapat seluruh divisi. Memang divisi ku paling kumuh, dibanding divisinya yang dipenuhi makhluk-makhluk Firdaus. Divisiku memang berisikan lelaki-lelaki yang cuma bekerja dikejar waktu. Kalau ada perempuan, toh mereka bermuka kumal dan layak disebut pembantu. Ya muka-muka di divisi kami menjijikkan. Tidak perlu setelan jas yang mewah, kami cukup berpakaian seadanya. Dan yang paling penting, niat.
Banyak orang-orang meremehkanku dalam mendapatkannya.Terutama teman dekatku
"Sialan bener kamu! Kamu sudah punya kekasih! Toh masih saja mau yang lain!"
"Kalau Semesta mengijinkan? Kenapa tidak?"
"At least, kamu harus jaga hati orang! Bagaimana kalau mereka terluka?"
"Tujuan kan perlu pengorbanan di awal?"
"Anjing! Masa bodo terserah elu!"
"Sudah.. Biar waktu dan semesta yang membuktikannya."
Aku selalu memuja untuk orang yang menemukan kalimat Biarlah anjing mengonggong. Biarkan orang lain terus menceramahi kita, lalu kita tunjukkan apa yang kita perjuangkan.

Di satu waktu, kami berada di kesunyian. Mata kami bertemu saat itu. Senyum manisnya meluluhkan hati ku yang beku.

Aku memiliki banyak pengalaman perihal relasi. Terlebih tentang orang-orang yang kuincar menjadi kekasih. Begini kisahnya setelah aku meruntut:
Hubungan awalku berlangsung sekedar pelampiasan nafsu antar individu. Hubungan yang tidak baik pun akhirnya purna. Setelah itu, aku benar-benar dibuat jatuh cinta. Kami saling mencinta. Kami putus sementara waktu, karena memang tidak bisa bertemu. Karena kami saling cinta, semesta mempekenankan kami kembali bersatu. Lalu lanjut-berlanjut menjadi sebuah siklus yang sama intinya. Hubungan nafsu >> hubungan cinta >> nafsu >> cinta >> dan begitu seterusnya.
Dan sekarang, dia benar-benar membuatku tertarik. Sa. Ngat. Ter. Ta. Rik. Bisa di bilang panah asmara telah tertancap. Aku akan memperjuangkannya. Biar nanti Semesta yang menjawab.


Humoris lah tipe orang yang sedang banyak dicari gadis-gadis masa kini. Terutama diriku. Dibandingkan dengan pria pendiam berbadan kekar, yang cuma bermodal kaos ketat untuk menunjukkan otot-otot steroidnya itu. Paling tidak, lelaki tipe humoris bisa untuk mengusir kepenatan, tekanan, dan segala macam jahanam yang merusak pribadi kita perlahan-lahan.

Dia humoris. Tingkahnya di kantor kami selalu saja membuat decak tawa bagi kami semua. Di saat yang lain melipat-lipat mukanya, dia sendiri mencoba melengkungkan bibirnya di tengah kondisi yang tidak mungkin untuk tersenyum. Karena sebenarnya senyuman orang bisa saja membuat orang lain tersenyum juga..
"Dia tersenyum.."
"Kamu suka?"
"____ ."
"Hey! Kamu suka dia?
"Ah? Ah, enggak."
"Hasyah itu lho muka mu merah!"
"Hah? Apaan sih.."
Bisa jadi aku memang tertarik dengannya? Aku suka cara dia menjaga mood orang. Raut mukanya lucu. Lucu tapi menyenangkan! Aku suka cara dia tersenyum di setiap saat. Dia cerdas, pintar mengatur suasana. Bisa saja.. Mungkin saja.. Tapi.. Eh? Kenapa jantungku berdegup?


Bilang saja aku ini lelaki nista. Kau bisa tahu dari analogi ini:
Ada seorang pemancing yang sudah menangkap ikan Kakap di genggamannya. Saat itu juga, kail pancingnya yang lain bergerak. Tarikan itu ternyata dari Gurameh, ikan yang membuat nafsu makannya melunjak saat itu. Karena wadah hanya satu, terpaksa Kakap pun dilepas demi mendapatkan Gurameh. Pemancing sudah yakin mendapatkan, tetapi Gurameh cuma bercanda. Gurameh pun pergi meninggalkan kail. Alhasil semua ikan pun lepas, dan dia kelaparan.
Hina nista kan diri ini?

Ya, kami berdua sudah mengumpulkan niat untuk memulai sebuah percakapan saat bertemu. Setidaknya aku sudah begitu banyak tahu tentangnya, terlebih tentang 'Rembulan'-nya. Bodohnya, hubungan ini terlalu didukung banyak orang. Teman-teman di divisinya terus memberinya dukungan. Begitu juga teman-temanku yang sudah setuju. Hubungan yang tidak alami, tidak akan terjadi.
Aku terlalu yakin mendapatkannya, dan di tengah perjuangan.. Dia termenung di suatu malam dan menatap langit. Rembulan tertawa sinis padanya.

Ternyata, itu jawaban Semesta.

Leave a Reply