Buai Fantastika

Saya sudah jenuh hidup (lagi). Ketika hari-hari diawali dengan sistem/rutinitas yang diciptakan oleh menteri pendidikan yang tidak akan pernah jelas, lalu diakhiri dengan ujian akhir semester yang tidak akan habis. Pantaskah kami--kita hidup? Tersentak, aku langsung mengingat ketikan puisi lama tentang mati. Sudahlah..

Sebelum melakukan tes akhir semester, aku juga menyempatkan pergi sejenak ke Ganjuran. Ya, rumah Tuhan, katanya. Tapi bagaimanapun Rumah Tuhan kan masih sebagai sarana untuk bertemu dengan Tuhan kan? Aku bercerita kepada tiga lelaki yang kutemani saat itu.

Entah kenapa aku teringat dialog di suatu film.
"Hey bung! Seharusnya kau membantu kami! Kenapa kau malah sibuk dengan benda-sialan-agama mu?"
"Terkadang kita memerlukannya. Tapi setidaknya percayalah. Kepercayaan menyatukan kita, sedangkan agama memecah-belah kita.
Dan aku masih juga berusaha menerima Tuhan sebagai Tuhan yang satu. Ya Tuhan bagi kau, aku, dan dia. Aku ingin menerima Tuhan Yesus, Nabi Muhammad, Buddha Gautama, Dewa Syiwa, dan lainnya sebagai Allah yang satu. Satu dan kuharap menyatukan kita semua.
Umpat saya konyol, tapi mungkin ada arti kata Agama. A dan Gama. Sebut saja begitu. A artinya tidak, dan Gama bisa jadi: perjalanan (aku menemukan arti kata itu dari website nama bayi). Tapi mungkin bodoh juga kalau arti agama itu bukan perjalanan. Atau Agama artinya kadal? Entahlah..


Sabtu, empatbelas Desember duaribu tigabelas.

Brama mengajak (kesekian kalinya) menghadiri konser dari festivalist. Begitu anehnya diriku atau memang tempat ini terkesan bukan jagad ku? Aku berpakaian seadanya seperti diriku biasanya. Sandal, celana 3/4 kedodoran, kaos dan cardigan yang menimbulkan kesan gay--kata kiky. Rambut gondrong kehujanan, hidung merah terkena flu, wajah tua tak terurus. Sedangkan pengunjung lain hadir dengan rambut klimis, wajah bungah, jeans skinny, sepatu converse, baju--bukan kaos--band-sampai flanel pun ada. Astaga, aku salah kostum. Pikirku saat itu. Tapi terserahlah, mau dikata apa, tubuhnya sudah terlanjur di sini.

Pernah mengetahui aku jatuh cinta dengan pemain biola? Biola atau violin entahlah, aku tidak peduli, yang penting sama-sama alat gesek. Aku berusaha memperjuangkannya, tapi ya... Ya namanya.. Ya namanya bukan mau membahas ini, ya maka sudahilah. Kebetulan band pembuka saat itu mengkolaborasikan tiga alat gesek dengan satu set band: drum, gitar, bass, keyboard. Lalu sejenak aku terkepak. Aku memikirkan penggesek itu. Sudah berapa ekor kuda yang di eksploitasi untuk dijadikan penggesek itu? Tauklah..

Setelah menanti begitu lama, puncak acara pun datang. Semula pengunjung yang membuatku minder, ternyata tampak aslinya. Gondes. Mereka terikat dengan gengsi, style masa kini yang macam tahi. Kalau rambut tidak klimis, kalau jeans bukan skinny, kalau sepatubukanconversedanlainsebagainyayangmacamtahi, ah biarlah.. Mereka cuma makhluk-makhluk nista yang cuma tahu gaya, termuntahi oleh buaian fantastika. Terkekang dan belum memahami arti kebebasan sejatinya. Baik adanya datang dengan seadanya, bukan se-apa-nya. Bukan se-tahu-nya, melainkan semaunya. Katanya generasi Go Ahead? Ya, generasi yang cuma go ahead kalau moshing, go ahead di jalan, dan go ahead kalau kroyokan.

Ya, saya malu. Dan saya cukup tahu. Mungkin itu semua juga menjadi salah satu faktor ingin sirna dari dunia sedari dulu.

Leave a Reply