Ruwat Ruwet!

Kedhini-Kedhana. Kami terlahir begitu. Kakakku perempuan dan aku. Dengan terlahir sebagai anak yang bisa saja membuat nafsu Batara Kala memuncak lalu memakan kami pada saat dia lapar, membuat kami harus di ruwat. Ruwatan adalah sebuah ritual untuk menyingkirkan kesialan dari hidup seseorang ataupun membersihkan diri.

Aku lahir dan besar sebagai bayi yang penyakitan. Hampir setiap tahun (yang kuingat), aku mampir ke rumah sakit swasta dekat rumah eyang pada masa-masa itu. Bocah dengan tubuh ringkih, menghabiskan belasan juta untuk opname, kontrol, rawat jalan, dan segala macam obat yang mengisi aliran darah pada saat itu. Tahun beranjak tahun, masa berganti masa, bocah itu tumbuh remaja. Kesehatannya sudah berangsur baik tidak seperti masa kecilnya. Tapi, berganti. Kesialan selalu ada saja menghampirinya. Menapakkan kaki di bangku sekolah menengah pertama, masalah-masalah yang ia buat mulai terjadi. Masalah kecil menurutnya, tapi dibesar-besarkan yang lain, katanya. Dan sampai dia berumur delapan belas tahun, dia masih bercumbu hebat dengan sosok yang bernama masalah.

Aku ingat saat aku masih penyakitan. Fortuna ada di pihakku kala itu. Walaupun kondisi tubuh yang memprihatinkan tapi keberuntungan ada padaku. Aku tetap sembuh dan masih bisa melanjutkan hidup.

Aku juga ingat tepatnya saat Fortuna berpaling. Acara Ruwatan Massal kala itu. Aku ingat jelas tempatnya. Sebuah rumah joglo yang sudah di renovasi se-modern mungkin untuk di huni. Ramai peserta tapi tidak hanya anak-anak. Yang ku ingat kala itu yang anak-anak cuma seorang, aku. Banyak orang tua pengantar juga disana, bapak-bapak merokok sambil bercerita di teras joglo. Ibu-ibu menemani anaknya yang menjadi peserta Ruwat.

Lalu kami diminta maju satu persatu. Melakukan acara utama ruwatan. Lalu di sana ada semacam pastur (atau petinggi kejawen, aku lupa) menggunting rambut kami sebagian sekitar dua sampai tiga sentimeter untuk di kumpulkan di satu wadah dengan alas daun pisang di bagian atas wadah itu. Itu nanti diapakan? "Rambut-rambut itu nanti di larung ke pantai.." Larung itu apa? "Larung itu ditaruh di kapal-kapalan, trus di lepas di laut.." jawab Ibuk yang kala itu juga ikut berdoa, doanya lebih khusyuk daripada aku yang menjadi peserta ruwat. Tiba-tiba saja aku membayangkan, ketika aku mati nanti, aku ingin di larung. Betapa serunya terombang-ambing tenang di atas laut sambil memandang langit biru luas nan megah itu. 

Sudah sejak kecil, aku berpikiran apa itu mati, bagaimana rasanya, seperti apa reaksi orang-orang di dekatku, jika aku mati.

Tepat setelah Ibuk menjelaskan, lalu aku merasakan sakit perut yang teramat sakit. Di sisi kanan perut. Tapi rasanya seperti maag. Bapak bilang mungkin cuma mulas karena belum makan tadi. Tapi bukan, sakitnya teramat sangat dan sampai aku menangis meringis kesakitan memegangi perut bagian kanan ku. Pas, acara ruwatan sudah selesai dan peserta diperbolehkan mengambil makanan yang di prasmanan kan di dekat pintu keluar dari joglo itu. Bapak mengambilkan sop dan mencoba menyuapiku. Sudah, beberapa sendok tapi tetap saja sakit. Lalu Bapak berpamitan dengan segala yang dijumpai dalam perjalanan keluar dari joglo itu lalu bergegas pulang.

Perlahan-lahan sakit di sisi kanan perut itu menghilang dalam perjalanan, tapi aku tidak berani berkata sudah sembuh. Bisa saja aku dimarahi karena mungkin Bapak mengira aku hanya sakit dibuat-buat agar cepat pulang. Malam sudah lumayan larut, lalu aku beristirahat.


Pagi menjelang, kegiatan dimulai seperti biasa. Tapi hari demi hari aku merasa ada yang pergi. Fortuna! Fortuna kamu dimana?

Hidupku berubah dari itu tadi. Aku semakin menjauh dari penyakit, tapi keberuntungan menghilang, masalah datang. Sedangkan Kakak perempuanku masih tetap pada patronnya. Nilai nya makin gemilang, kepintarannya semakin matang. Prestasi-prestasinya semakin banyak. Jika dibandingkan dengan kakak perempuanku, hidupku tak ada apa-apanya. Aku masih saja mengurus diri sendiri yang membusuk dari hari ke hari. Iya kan?

Mungkin aku butuh ruwat lagi lain kali.

Leave a Reply