Adil, Sibuk, dan Rasi Bintang.

Banyak waktu yang kuhabiskan di tempat tidur menanti sebuah kepastian akan dolan atau tidaknya diriku setiap hari. Karena sejatinya ketika sudah janjian untuk pergi, pada hari itu juga aku yakin aku tidak akan pergi. Satu pihak membatalkan. Lama-kelamaan terlihat siapa yang menjauh dan siapa yang sendiri. Kesendirian memang selalu membuat pilu, iri dan cemburu. Tapi apa gunanya? Kalau saja aku terus-terusan cemburu dengan kesibukan orang lain, lalu apa yang kudapat? Justru dengan kesendirian itu aku mengambil hal positifnya: aku diberi cukup banyak waktu untuk refleksi, pengenalan diri, dan semacam menangisi diri sendiri. Lumrah saja kalau akhir-akhir ini kau menemukanku tertawa, marah, dan berbicara dengan diri sendiri.

Katakan saja aku satu pikiran dengan Soeharto yang beralasan saat itu, saat dimana ketakutan akan komunis semakin luas. Dengan alasan-nya, seorang komunis dengan kesibukannya lama-lama akan mengalami keadaan yang namanya Alienasi. Tapi aku berpikir, dengan kesibukan; orang-orang yang mencintai kesibukan lama-lama akan membuat Alienasi dengan orang lain, namun lebih umum: keterasingan. Gampangnya, seorang suami yang sibuk bekerja, bahkan cinta akan pekerjaannya, keluarganya akan di-Alienasi-kan olehnya. Dan orang yang gila sibuk itu belum tentu sadar akan orang-orang yang merasakan pahitnya keterasingan. Matanya, rasanya, jiwanya akan tertutup. Bahkan kalimat-kalimat sarkas dan sindiran pun tidak membuatnya menyadari apa yang telah ia lakukan.

Biasanya orang yang sendirian itu terlihat kecil. Tanpa dukungan apapun, tanpa teman siapapun, tanpa kekuasaan kapanpun. Justru itu dengan kondisi kami sebagai makhluk kecil:

Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaan.
Soe Hok Gie

Kesendirian tidak selamanya pilu. Kesendirian justru membuka mata lebih lebar. Ada satu quotes oleh orang yang mati oleh kesendirian dan keterasingan.
Ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.
Bung Karno, 1933


Ada suatu waktu aku termenung di kamar mandi, berjongkok dan menahan nafas untuk mengeluarkan tahi. Lalu aku berpikir tentang yang namanya keadilan, tentang warisan; harta peninggalan. Aku mengkondisikan aku sebagai seorang kakek yang memiliki lima anak: lelaki sulung dan bungsu; tiga perempuan, dan kelima anak ini sudah berkeluarga. Aku memiliki 250 juta harta warisan dan aku ingin membagi untuk kelima anakku. Mungkin di mata anak-anakku yang namanya keadilan adalah ketika aku membagi 250 juta ini dengan rata, jadi masing-masing anak mendapatkan 50 juta yang sama tanpa perbedaan satupun.

Tapi kondisi yang benar di mata seorang kakek bijaksana adalah mengetahui kondisi anak-anaknya dulu. Apakah layak membagi rata harta warisannya? Dari kelima anak sejatinya ada satu anak perempuan yang berbeda dibanding empat saudara lainnya. Ketika empat saudara lainnya sudah memikirkan hari-hari pensiunnya dan masih sempat berlibur ke luar negri, satu anak perempuan ini masih sibuk bekerja sosial mungkin tanpa bayaran uang tapi dengan bayaran kepercayaan. Disamping itu pekerjaan kecil-kecil itu untuk membuatnya lupa sekejap akan tanggungjawab membiayai anaknya.

Lalu aku teringat satu teori keadilan yang dijelaskan saat pembelajaran masa SMA itu, pak Maryono yang mengatakan.

Suatu keadilan adalah saat kita membagi sesuai porsinya. Mungkin lebih pantas aku (sebagai kakek) membagi 30juta kepada empat anaknya yang sudah lebih dari cukup. Sisanya? Seratus tujuhpuluh juta akan kuberikan kepada anak perempuan khusus ini.





Sebuah rasi bintang, shio, dan garis tangan dianggap sebagai takdir yang sudah tertulis dan kita tinggal menjalani sisa hidup kita dengan patokan yang katanya sudah tertatahkan oleh alam.

Seperti lirik di lagu ini:



Sahabatmu, mungkin pernah bercerita
Tentang gelapnya hidupku
Dan bila kau percaya mereka
Kuharap kau.. kau memilahnya

Sahabatku, mungkin pernah bercerita
Tentang kerasnya hidupku
Dan bila kau tetap tak percaya
Biarkan aku membuktikannya

Reff:
Aku tak seperti yang kau bayangkan

Mungkin orang bisa saja terlihat riang dalam senyum di bibirnya, tapi siapa yang tahu kalau jauh di dalam senyum itu hanya tangisan? Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Kenyang dengan kisah hidupnya yang kelam, selalu saja ada orang yang ingin membalik garis tangannya. Sebenarnya sah-sah saja orang sadar lalu berusaha keluar dari kesusahan.

Orang yang ingin menantang rasi bintang biasanya dalam keterpurukan. Entah keterpurukan ekonomi, sosial, bahkan kehormatan. Coba lihat cerita-cerita orang terpuruk yang sukses? Latar belakang yang umum
  1. Keterpurukan ekonomi: dia bersumpah akan membuat keluarganya kelak akan makmur dan berbeda dengan keluarganya sekarang.
  2. Keterpurukan sosial: dia di bully, hina. Lalu dia ingin membalas dendam menjadi petinggi suatu jabatan dan akan menunjukkan bahwa dirinya tidak layak diperlakukan buruk di masa lalu.
  3. Keterpurukan kehormatan: karena suatu hal sepele keluarganya dipandang rendah dan diremehkan. Lalu dia ingin mengambil kehormatan keluarganya kembali.
Selalu itu-itu saja cerita yang terkenal. Tapi itu memang benar. Apakah kalian tidak sadar? Apakah kalian jarang merasakan kesindirian lalu tidak terbuka matamu? Semuanya itu sahih. Bahkan aku ingin mendapatkan lagi hak-hak yang sebenarnya layak kudapatkan. Lalu kutunjukkan kepada mereka semua yang angkuh dan sombong. Aku bukan dengki, tapi ini sikap orang terpuruk.
Ini adalah emosi melankoli.
Melankoli datang dari rasa tak memiliki.
 Marja
(Ayu Utami)

One thoughts on “Adil, Sibuk, dan Rasi Bintang.