Rasa Ke-tujuhbelas-an

" ♪♪ Enambelas Agustus tahun empat-lima.. Besoknya hari kemerdekaan kitaa~ ♪♪"

Lagu konyol itu mengiang dikepala. Sampai-sampai aku hampir jadi gila, karena masuk angin. Dan aku mengakui bahwa tidak ada hubungannya. Ups.

Pagi hari, sekitar jam setengah tujuh, hampir semua jalanan dibanjiri motor-motor dan bawahan seragam dari merah, biru tua, sampai abu-abu. Antusiasme mereka tidak terlihat dari raut wajah mereka. Mungkin sekedar antusias "mau kemana setelah ini?" Setelah upacara. Mereka sudah disibukkan dengan janji mereka, tentunya. Sepertinya, tidak semua, hampir semua, mempertanyakan apa maksudnya acara ini.

Sepertinya hampir semua upacara dipertanyakan ya? Mulai dari upacara formal yang sedang kutulis ini, upacara pernikahan, upacara pemakaman, upacara pelantikan. Kukira bukan upacaranya yang diikuti, biasanya mereka--kita--mengikuti upacara karena suatu hal, yaitu acara setelah upacara.
  • Upacara pernikahan. Hanyalah pengantin yang berbahagia menurutku. Di satu sisi, sepasang casutri (calon suami-istri) itu sudah akan bersama selamanya, dan mereka pikir hal itu paling indah. Mereka pikir cuma keindahan-keindahan sekedar hidup bersama, mempunyai anak lucu dan nantinya akan senang di masa pensiun mereka. Kenyataannya, saat kita bayi menjadi mainan para orangtua. Saat lansia, kita menjadi mainan para anak-cucu kita. Life. Cycle. Di lain tempat orangtua dan mertua mereka masih judeg memikirkan bagaimana cara membayar tagihan pernikahan anak mereka yang aneh-aneh.
  • Upacara pemakaman. Orang terdekat saja yang menangis. Menangis apa? Terkadang sebagian dari mereka menangis karena ada janji/hutang yang belum terbayarkan. Selebihnya dari mereka? Menunggu momen makan-makan. Bah.
  • Upacara pelantikan. Sejujurnya banyak yang tidak menyukai hal ini. "Kenapa dia, bukan aku?" Banyak pesaing-pesaing orang yang dilantik itu sebenarnya tidak setuju. Karena jika orang yang berpikir seperti itu, mungkin bisa bangga akan jabatan yang dikenakan, penghasilan yang diterima, dan pekerjaan yang mungkin hanya memerintah bawahan.

Pagi itu, sempat ku memeriksa Twitter, apakah ada Trending Topic disana. Sebenarnya kita--bangsa Indonesia muda--yang sering bermain jejaring sosial, bangga akan hashtag atau apapun yang masuk di Trending Topic World Wide. Menurutku bukan bangga, lebih tepatnya narsis. Sebenarnya apakah masuk hitungan Nasionalisme, kalau di Twitter dengan lantang--sebetulnya bukan lantang--mengetik tweet-tweet yang mengatasnamakan Indonesia? Bukan. Itu Narsisisme. Narsis.

Ada juga beberapa akun yang lebih condong ke hal negatif.
@jenglot: Harus gak sih ikut upacara? Males bet -_- Zzz

@kencur: Di mimpi aja lah cuy, males RT @sembako Upacara lah! RT @kencur: Indonesia's Independence day!! Markitdur, mari kita tidur
Yen kowe males, njuk ngopo? Kalau semua akun seperti itu, berarti media sosial sebenarnya tempat berkumpulnya uneg-uneg dan akun kepo. Toh akun-akun kepo juga mengucapkan setidaknya tweet positif, bukan tweet yang mengutarakan ke-males-an pemilik akun semacam diatas.


Di satu sisi, anak muda sedang koar-koar mengenai Upacara 17 Agustus, yang hanya sekali di laksanakan. Di lain sisi, para Veteran, para pejuang kemerdekaan yang beruntung masih hidup ....



FYI: Saat itu, saat Soekarno mengusulkan perihal Pancasila. Sempat ada yang kontra dengan jumlah lima. Sempat Beliau mengusulkan lagi, tetapi hanya satu. Nasionalisme.




 -Kalau semua akun seperti itu, berarti media sosial sebenarnya tempat berkumpulnya uneg-uneg dan akun kepo.

Leave a Reply