Almost Diary, Barely Monologue.

Menjadi pribadi adalah hak orang itu sendiri. Banyak sekali orang-orang yang sudah pernah saya temui. Dalam hal ini, saya menjadi subjek yang menganalisis. Saya punya cukup banyak teman di masa remaja ini, karena saja luar kota adalah alasan utama kenapa saya punya tambahan teman yang plus-plus.

Baiklah saya mengenalkan diri. Saya adalah pengecut. Lelaki tua berumur muda. Bukan karena 29 Februari adalah ulang tahun saya, yang notabene hanya (sahih) dirayakan empat tahun sekali. Tapi itu salah satu cita-cita, kelak saya ingin mempunyai anak perempuan di tanggal itu. Supaya apa? Menurut saya gadis-gadis remaja masa kini terlalu ditakuti akan 'harusnya' pesta Sweet 17th diadakan ketika menginjak umur dewasa itu. Pesta norak, pakaian formal, disco time di penghujung acara. Ew..
Disco time? Apa segala tarian-tarian tak beraturan dan lagu jedag-jedug itu merupakan tolok ukur seorang gadis telah dewasa? Tolonglah.. Siapapun! Siapapun bantu saya mengubah pola pikir makhluk yang membuat Adam juga berdosa! Saya tidak merendahkan perempuan di paragraf ini. Saya cuma mengingatkan; Emansipasi Wanita adalah upaya Kartini, orang jepara itu, untuk menyejajarkan kaum perempuan dengan kaum lelaki. Menyejajarkan, bukan mengungguli. Kalian kaum wanita ingin jadi Barbie? Super Woman? Cat Woman atau apalah. Terserah. Kata orang Jawa: empan papan. Perempuan juga masih harus tahu aturan. Bagaimana bisa orang tua mengeluarkan uang begitu banyak untuk acara norak untuk anak gadisnya yang menginjak usia tujuhbelas, dengan acara disko di akhir acara? Di depan mata orangtua, memamerkan polah-polah ra genah? Please.
Itu sebabnya aku ingin punya anak gadis di tanggal langka itu. Supaya aku merayakannya di saat anak gadisku berusia 58 tahun (jika di KTP harus ditulis 28 Februari). Cukup tua untuk tidak lagi membikin malu orangtuanya dengan acara biadab itu.

Sebagai siswa SMA, yang katanya masa-masa terindah, saya cukup banyak memiliki relasi dengan teman. Sejatinya banyak remaja saat ini sayang sekali dengan sahabatnya. Sahabat? Menurut saya istilah sahabat, BFF, konco kenthel, dan sebagainya itu terkesan memilih-milih. Baiknya saya mengaku bahwa saya tidak punya sahabat tetap di masa SMA. Sebut saja saya teman parasit. Parasit maupun benalu, samakan sajalah. Benalu yang hidup mengambil kehidupan inangnya. Memanfaatkan inangnya. Baiknya, benalu masih setia dengan inangnya.
Tetapi saya bukanlah teman musiman, yang datang seperti musim layang-layang. Haha, tarik ulur saja para pemain layang....




Maaf, post ini sebenarnya sudah kutulis di bulan Februari awal, dan aku lupa hendak menulis apa. Tapi biarlah judul menjadi judul. Anggap saja ini sebuah artikel ngantuk. Kalau Anda perempuan dan Anda membaca paragraf kedua tersinggung, maafkan. Sejatinya aku dalam kondisi kosong saat itu.

Leave a Reply